Mohon tunggu...
Linggar Kharisma
Linggar Kharisma Mohon Tunggu... Political Scientist In Digital Creative Industry

Political Scientist

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yogyakarta dan Bandung, Sebuah Representasi Kota Budaya

1 Januari 2018   16:30 Diperbarui: 3 Januari 2018   13:51 1161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Tugu Yogyakarta / Sumber Gambar: https://www.blog.reservasi.com

Beberapa waktu lalu, saya iseng untuk melakukan riset kecil-kecilan. Gak perlu ditanya pakai metode penelitian apa ya. Ini cuma hasil diskusi-diskusi singkat saja. Karena bukan karya ilmiah juga sih.

Jadi begini. Saya ini kok ya merasa, bahwa Yogyakarta dengan segala keunggulan budaya Jawanya itu, merupakan representasi nilai-nilai kejawaan secara tulen. Kafah lah, kalau bahasa agamanya.

Nah, karena hipotesis saya itu, lantas saya juga punya pikiran lain. Bahwasanya orang-orang asli Yogyakarta, pastilah punya sense of pride yang lebih tinggi dibanding penduduk di daerah Jawa lainnya, khususnya Jawa bagian tengah dan sekitaran DIY.

Untuk membuktikan analisis saya yang jauh dari nilai-nilai ilmiah tadi, kemudian saya coba ajukan beberapa pertanyaan kepada kawan-kawan saya, yang utamanya, berasal dari suku Jawa. Terkhusus, orang-orang Yogyakarta sendiri, dan atau orang Jawa daerah lain yang pernah tinggal menetap di sana.

Singkat cerita, hasil dari cuap-cuap saya bersama kawan-kawan mengenai hal itu, akhirnya cukup membuat bibir saya bisa tersenyum lebar. Seraya berkata: "Tah pan. Ceuk aing ge naon!" (Nah kan, kata saya juga apa).

Betul saja. Ternyata beberapa kawan saya yang secara sukarela dimintai pendapatnya tersebut, juga mengamini hipotesis yang saya buat di awal. Bahwa benar adanya, nilai-nilai "Njawani" orang-orang Yogyakarta itu, sesungguhnya berada pada level yang berbeda dibanding masyarakat Jawa lain pada umumnya.

Mungkin karena masih kuatnya pelestarian kebudayaan Jawa di sana, berupa keraton-keraton dan sistem pemerintahan ala kerajaan yang diterapkan, menjadikan daerah ini memang benar-benar terasa istimewa. Bukan saja karena kekayaan relief alamnya semata, tapi juga karena kentalnya adat-istiadat kejawaan masyarakat dan pranata sosialnya.

Tapi daya imajinasi saya tak behenti sampai di sana. Melalui proses lamunan panjang yang disengajakan, saya coba komparasikan kultur kejawaan yang ada di Yogyakarta tadi, dengan nilai-nilai kesundaan yang konon lekat dengan kota Bandung.

Karena begini. Bagi saya, kasus Yogyakarta itu dengan sense of njawani warganya tadi, kurang lebih sama dengan apa yang terjadi di Bandung. Sebagai ibu kota provinsi Jawa Barat, saya juga kok ya merasa kalau Bandung itu seolah-olah, mewakili kultur kesundaan yang hakiki.

Jadi, upami anjeun teh urang Bandung (seumpama Anda adalah orang Bandung), ya sense of pride-nya pasti beda lah, dengan orang-orang Sunda di daerah Jawa Barat lainnya. Seperti saya yang tinggal di Bogor, misalnya. Nilai-nilai kesundaan yang ada di Bandung, pada taraf tertentu juga berada pada tingkatan yang berbeda, jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di tatar Pasundan.

Sebagai orang Bogor yang juga menetap di Bandung, nalar saya berontak. Apa-apaan ini, gumam saya dalam hati. Dalam hemat saya, harusnya Bogor-lah yang lebih tepat untuk mengambil alih status daerah paling nyunda itu dari Bandung.

Lho ya jelas dong. Kalau kita buka-buka catatan sejarah masa lampau, misalnya, maka kita akan paham bahwa pusat kerjaaan Sunda Pakuan Padjadjaran yang terakhir itu lokasinya ya di Bogor. Bukan Bandung.

Nama Bandung ini kan baru terkenal semenjak zaman kolonial Belanda, saat Bandung dijadikan ibu kota karesidenan wilayah Priangan. Itu pun karena memang daerahnya yang luas. Bukan karena nilai-nilai kesundaannya yang dianggap lebih prestise.

Tapi ya saya gak bisa menyalahkan perkembangan zaman juga, kalau misalnya pada hari ini, Bandung-lah yang lebih lekat dengan budaya Sunda dibanding Bogor sendiri, yang secara geografis memang lebih dekat dengan Jakarta sebagai ibu kota negara.

Integrasi wilayah bernama Jabodetabek jualah yang pada akhirnya membuat saya sadar, bahwa nilai-nilai urbanisme lebih cepat melakukan penetrasi di Bogor, dan pada tingkatan tertentu mulai menggerus perlahan demi perlahan etos budaya Sunda. Dan pada saat yang sama, Bandung memang terlihat kian mapan dengan kultur-kultur kesundaan yang juga dipraktikan secara komunal oleh warganya di sana.

Pada akhirnya, adalah menjadi suatu hal yang wajar jika persepsi masyarakat terhadap Yogyakarta dan Bandung, sebagai dua kota yang paling merepresentasikan nilai-nilai kebudayaannya masing-masing, mendapat tempat yang khusus. Bukan saja di mata warga lokal kedua tempat tersebut, tapi juga seluruh warga yang merasa bahwa kedua daerah itu adalah salah satu kawasan yang memiliki warisan budaya terunggul di Indonesia saat ini.

Jadi, apakah Anda setuju dengan apa yang saya katakan di atas?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun