Kita mungkin sama-sama mafhum, bahwa salah satu sifat dari kebijakan publik itu memaksa. Dalam arti, penerapan sebuah kebijakan publik itu mau tak mau, atau suka tak suka, wajib dijalankan oleh objek kebijakan. Dalam konteks ini, objek kebijakan itu bisa dimaksudkan sebagai masyarakat luas.
Namun kita juga harus ingat, bahwa dalam penyusunan kebijakan publik, seperti kata Marshall, haruslah mengakomodasi nilai-nilai keadilan. Sialnya, aspek terakhir ini yang kerap dilalaikan oleh para pembuat kebijakan.
Dalam kasus penerapan kewajiban menggunakan kartu transaksi elektronik di jalan tol, misalnya. Pemerintah secara sembrono, memaksakan keinginannya kepada masyarakat, tanpa memperhatikan aspek keadilan di dalamnya.
Tentunya kita mengerti keinginan pemerintah, untuk secara administratif mendapatkan catatan transaksi yang lebih tertib dan mudah guna. Namun sudah selayaknya pula, keinginan tersebut tidaklah menghambat mobilitas sosial dan memarjinalkan nilai keadilan, masyarakat yang hendak menggunakan akses jalan tol.
Ekses dari kewajiban memiliki kartu transaksi elektronik ini, membuat seluruh masyarakat yang mau menggunakan fasilitas jalan tol, harus merogoh koceknya lebih dalam dari penggunaan yang kelak ditransaksikan. Sehingga dalam catatan saya, untuk memiliki kartu transaksi elektronik ini, masyarakat sebagai konsumen sejatinya dirugikan sekurang-kurangnya sebanyak dua kali.
Pertama, untuk pertama kali membeli kartu jenis ini, jumlah deposit yang ada tak berbanding lurus dengan uang yang dikeluarkan. Misalnya, jika Anda ingin memiliki kartu transaksi elektronik dengan saldo senilai Rp. 40.000, maka uang yang harus Anda keluarkan yakni sebesar Rp. 50.000. Adapun defisit Rp. 10.000, konon dikenakan sebagai biaya administrasi. Tentu jumlah uang dan total saldo yang tadi saya sebutkan nominalnya bisa berbeda-beda, tergantung dari kebijakan masing-masing penyedia jasa yang mengeluarkan layanan kartu elektronik tersebut.
Kedua, saat Anda hendak mengisi saldo kartu elektronik ini, jumlah pembayarannya pun lebih besar. Semisal, jika Anda ingin mengisi saldo ke dalam kartu transaksi elektronik sebesar Rp. 20.000 di gerai-gerai pembayaran yang memungkinkan Anda untuk mengisi saldo, maka Anda harus membayarnya sebesar Rp. 21.000, ataupun lebih. Jumlah uang yang dikeluarkan tentu variatif, kembali lagi bergantung di mana tempat Anda mengisi saldo tersebut.
Namun dari kedua poin di atas, hal yang saya rasa cukup penting adalah menanggulangi kerugian masyarakat yang megakses jalan tol tidak dalam jangka waktu terus-menerus. Artinya hanya sesekali saja menggunakan fasilitas jalan tol. Untuk kelompok masyarakat ini, maka aspek keadilan bagi mereka menjadi hilang.
Hal-hal tadi belum ditambah dengan potensi ragam kerugian lain yang akan menghantui. Seperti kerusakan chip dalam kartu, yang mengakibatkan fungsi transaksi terhambat. Hingga kerusakan mesin pembaca kartu yang mengakibatkan terbuangnya waktu, hanya untuk sekadar menunggu teknisi datang membenahi kerusakan tersebut.
Kini, saat penggunaan kartu transaksi elektronik diwajibkan kepada semua pelanggan yang memasuki jalan tol, nilai keekslusivitasan barang ini menjadi hilang. Karena dahulu, sewaktu penggunaan kartu semacam ini hanya berbentuk anjuran, masyarakat yang memiliki kartu elektronik ini dapat dipastikan mendapatkan beberapa keunggulan. Satu di antaranya ialah, tak perlu mengantre panjang saat melalukan pembayaran di gardu tol.
Namun anjuran ini berubah menjadi sebuah kewajiban. Nilai keunggulan itupun sirna dengan sendirinya. Pada kenyataannya setelah mengantre pun, kondisi di dalam tol tetap padat.