Mohon tunggu...
Linggar Kharisma
Linggar Kharisma Mohon Tunggu... Politisi - Political Scientist In Digital Creative Industry

Political Scientist

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Potensi Kampanye Kotor di Pilkada Jabar

28 Agustus 2017   17:10 Diperbarui: 29 Agustus 2017   11:52 3114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS/DIDIE SW)

Banyak kalangan pengamat dan praktisi yang meyakini, bahwa "Ahok Effect" di Jakarta pada gelaran Pilgub DKI lalu, sulit untuk diulang pada hajatan besar yang kelak dilangsungkan di Jawa Barat tahun depan.

Selain karena karakteristik masyarakat yang berbeda, manajemen isu yang dibawa pun tentu memiliki kecenderungan yang berlainan. Sehingga, potensi lahirnya politisasi isu SARA, sebagaimana yang terjadi di Jakarta silam, memang kecil kemungkinan untuk terjadi. Mengingat dari nama-nama calon yang muncul ke khalayak publik, hampir dipastikan memiliki satu kesamaan, khususnya dalam hal keyakinan beragama.

Namun apakah dengan adanya kesamaan agama itu, gejolak kontestasi dan gaya kampanye para calon Gubernur di Jawa Barat akan berlangsung biasa-biasa saja? Bagi saya, jawabannya tentu tidak!

Kampanye Politik

Dalam terapan ilmu politik, dikenal dua jenis kampanye. Pertama, kampanye negatif (negative campaign). Cara ini ditempuh untuk mengekspos sisi negatif yang dimiliki salah seorang calon, berdasar pada fakta-fakta yang ada.

Misalnya, kenyataan bahwa calon A pernah terlibat skandal perempuan, sehingga mengakibatkan rumah tangganya retak. Berita ini kemudian terus diproduksi oleh kompetitornya, demi mempengaruhi psikologi calon pemilih.

Cara semacam ini, memang absah dan acap dilakukan di dunia politik. Tujuannya bermacam-macam, bukan semata demi sebuah jabatan, namun juga untuk keperluan pembentukan citra pribadi.

Cara kedua, adalah kampanye kotor (dirty campaign). Bagi sebagian orang, kampanye model ini lebih dikenal lewat terminologi kampanye hitam (black campaign). Namun, saya enggan untuk menyebutnya sebagai kampanye hitam. Oleh sebab sejarah pencetusan lema kampanye hitam ini, berkaitan erat dengan kampanye pelecehan warna kulit yang dahulu terjadi di Afrika. Untuk itu, saya lebih suka memakai istilah kampanye kotor, sesuai dengan padanan kata yang digagas oleh Malcolm X.

Kampanye kotor, dipakai untuk membentuk sebuah opini publik terhadap reputasi salah satu calon yang bertarung dalam proses kontestasi politik. Adapun framing yang dibangun, tentunya berdasarkan pada argumentasi-argumentasi ataupun hal-hal yang bersifat tidak nyata, alias fantasi, fitnah dan tuduhan/isu semata.

Ilustrasi Bakal Calon Gubernur Pilkada Jawa Barat 2018 / (Foto: pikiran-rakyat.com)
Ilustrasi Bakal Calon Gubernur Pilkada Jawa Barat 2018 / (Foto: pikiran-rakyat.com)
Ekses Kampanye Kotor

Saya melihat, potensi bagi lahirnya kampanye kotor di Pilkada Jawa Barat cukup besar. Dari pemberitaan-pemberitaan yang lalu, misalnya, sesungguhnya amat mudah kita dapatkan berbagai informasi yang sejatinya, tidaklah benar. Sialnya, isu-isu ini bukan hanya menimpa salah satu calon saja, melainkan juga dialami oleh calon lainnya juga.

Kabar hoax mengenai Ridwan Kamil sebagai bagian dari kelompok pro-LGBT, pro-Syiah, dan kaum minoritas lainnya, merupakan berita-berita yang terus diembuskan lawan-lawan politiknya.

Berulang kali kabar tersebut diangkat ke publik, maka berulang kali pula Emil (panggilan akrab Ridwan Kamil) melakukan konfirmasi di berbagai jejaring sosial medianya.

Kabar tak sedap juga, kerap menimpa calon yang digadang-gadang akan diusung oleh Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Dedi Mulyadi.

Keberpihakan Dedi Mulyadi kepada pelestarian budaya Sunda selama menjabat sebagai Bupati Purwakarta, acap menjadi bulan-bulanan segelintir kalangan yang kontra terhadap dirinya.

Hadirnya tudingan miring terkait kepercayaan Sunda Wiwitan yang dianut Dedi Mulyadi. Hingga isu kebijakan pendirian patung-patung bercorak budaya Sunda di Jawa Barat jika kelak Dedi terpilih sebagai Gubernur, menjadi isu yang eksis di tengah-tengah warga.

Semua informasi tersebut pada akhirnya bermuara pada anggapan akan rancangan sebuah proyek besar, yang tujuan utamanya akan medekadensi akidah umat Islam di Jawa Barat.

Jujur saja, saya merasa agak cemas bahwa tumbuh kembangnya kampanye kotor di Jawa Barat pada waktu-waktu mendatang akan semakin marak. Di saat budaya literasi masyarakat kita yang rendah, penyebaran info-info yang merusak semacam ini pada nyatanya malah kian digandrungi. Terbongkarnya sindikat Saracen, sebagai agen informasi hoax nan berbau SARA baru-baru ini, bisa dijadikan salah satu bukti kekhawatiran yang nyata.

Tentu saja ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama, khususnya warga Jawa Barat. Untuk senantiasa menahan diri dari berbagai macam kabar yang patut ditelusuri kebenarannya terlebih dahulu. Karena alih-alih menciptakan suasana kampanye yang kondusif, sehat, dan menenangkan, kita justru terbawa arus dengan kabar-kabar hoax yang jumlahnya kian hari kian banyak, dan makin masif diproduksi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun