Banyak kalangan pengamat dan praktisi yang meyakini, bahwa "Ahok Effect" di Jakarta pada gelaran Pilgub DKI lalu, sulit untuk diulang pada hajatan besar yang kelak dilangsungkan di Jawa Barat tahun depan.
Selain karena karakteristik masyarakat yang berbeda, manajemen isu yang dibawa pun tentu memiliki kecenderungan yang berlainan. Sehingga, potensi lahirnya politisasi isu SARA, sebagaimana yang terjadi di Jakarta silam, memang kecil kemungkinan untuk terjadi. Mengingat dari nama-nama calon yang muncul ke khalayak publik, hampir dipastikan memiliki satu kesamaan, khususnya dalam hal keyakinan beragama.
Namun apakah dengan adanya kesamaan agama itu, gejolak kontestasi dan gaya kampanye para calon Gubernur di Jawa Barat akan berlangsung biasa-biasa saja? Bagi saya, jawabannya tentu tidak!
Kampanye Politik
Dalam terapan ilmu politik, dikenal dua jenis kampanye. Pertama, kampanye negatif (negative campaign). Cara ini ditempuh untuk mengekspos sisi negatif yang dimiliki salah seorang calon, berdasar pada fakta-fakta yang ada.
Misalnya, kenyataan bahwa calon A pernah terlibat skandal perempuan, sehingga mengakibatkan rumah tangganya retak. Berita ini kemudian terus diproduksi oleh kompetitornya, demi mempengaruhi psikologi calon pemilih.
Cara semacam ini, memang absah dan acap dilakukan di dunia politik. Tujuannya bermacam-macam, bukan semata demi sebuah jabatan, namun juga untuk keperluan pembentukan citra pribadi.
Cara kedua, adalah kampanye kotor (dirty campaign). Bagi sebagian orang, kampanye model ini lebih dikenal lewat terminologi kampanye hitam (black campaign). Namun, saya enggan untuk menyebutnya sebagai kampanye hitam. Oleh sebab sejarah pencetusan lema kampanye hitam ini, berkaitan erat dengan kampanye pelecehan warna kulit yang dahulu terjadi di Afrika. Untuk itu, saya lebih suka memakai istilah kampanye kotor, sesuai dengan padanan kata yang digagas oleh Malcolm X.
Kampanye kotor, dipakai untuk membentuk sebuah opini publik terhadap reputasi salah satu calon yang bertarung dalam proses kontestasi politik. Adapun framing yang dibangun, tentunya berdasarkan pada argumentasi-argumentasi ataupun hal-hal yang bersifat tidak nyata, alias fantasi, fitnah dan tuduhan/isu semata.
Saya melihat, potensi bagi lahirnya kampanye kotor di Pilkada Jawa Barat cukup besar. Dari pemberitaan-pemberitaan yang lalu, misalnya, sesungguhnya amat mudah kita dapatkan berbagai informasi yang sejatinya, tidaklah benar. Sialnya, isu-isu ini bukan hanya menimpa salah satu calon saja, melainkan juga dialami oleh calon lainnya juga.