Mohon tunggu...
Linggar Kharisma
Linggar Kharisma Mohon Tunggu... Politisi - Political Scientist In Digital Creative Industry

Political Scientist

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Survei GRP: Pemilih Jakarta Tidak Rasional, Ini Alasannya

25 Januari 2017   16:56 Diperbarui: 26 Januari 2017   12:33 3183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Senin minggu lalu, pasca kami, PT Grup Riset Potensial (GRP), merilis hasil survei elektabilitas pasangan calon Pilgub DKI 2017, beberapa wartawan menanyakan statement yang saya sampaikan sewaktu menjabarkan hasil analisis riset.

Sebelumnya memang, dalam acara minggu lalu, saya bilang bahwa pemilih Jakarta itu irasional. Tentunya, argumentasi saya tersebut bukanlah tanpa dasar. Hal ini karena sesuai data yang kami miliki pada Pilgub DKI 2012 lalu misalnya, kami menganalisis bahwa ada korelasi yang signifikan sebesar -0.84%, antara jumlah proporsi muslim di sebuah kelurahan dengan tingkat keterpilihan pasangan pemenang kontestasi Jokowi-Basuki.

Menurut analisis kami, semakin tinggi jumlah penduduk muslim di satu kelurahan, perolehan suara pasangan Jokowi-Basuki justru rendah. Sebaliknya, semakin rendah jumlah proporsi muslim di sebuah kelurahan, maka presentase dukungan bagi Jokowi-Basuki cenderung tinggi.

Saya contohkan begini. Di Kepulauan Seribu, yang penduduk muslimnya hampir 98%, jumlah dukungan untuk Jokowi-Basuki pada Pilgub 2012 lalu, tak sampai angka 10% dari total populasi. Namun di daerah yang jumlah penduduk muslimnya rendah (di bawah 70%) presentase dukungan terhadap pasangan Jokowi-Basuki justru meningkat pesat hingga mencapai rata-rata di atas 50,1%.

Tren semacan ini, saya cermati kembali berulang di gelaran Pilgub DKI sekarang. Sebagai contoh, seperti yang terjadi di Kelurahan Semper Barat. Dari data statistik, jumlah populasi muslim di daerah itu mencapai 86%. Menurut hasil survei terbaru kami, tingkat elektabilitas pasangan AHY-Sylvi di daerah tersebut bahkan mencapai 86,9%.

Artinya, kalau kita mengikuti pola pikir linier, maka dapat dipastikan bahwa seluruh penduduk muslim di daerah itu, semuanya memilih pasangan nomor urut satu, AHY-Sylvi.

Hal ini menjadi wajar dipahami jika menilik polemik hukum yang sedang terjadi dan aksi-aksi besar beberapa waktu lalu (411 dan 212), yang turut berperan aktif dalam menggugah sisi religiusitas masyarakat Jakarta.

Maka dari itu, kemarin saya bilang bahwa penduduk Jakarta tidak mempertimbangkan aspek rasional dalam perspektif teori perilaku pemilih (voting behavior), karena tipikal penduduk Jakarta lebih cocok dengan model pendekatan sosiologis.

Usai acara, wartawan menghampiri saya dan mencoba melakukan klarifikasi atas ucapan saya itu. Mereka mengajukan beberapa pertanyaan kritis:

"Mas, kenapa warga Jakarta bisa seperti itu?"
"Mas, sampai kapan ya ini bisa terjadi? Harusnya kan pertimbangan pemilih dalam memilih kandidat itu karena profil kebijakan, ya?"

Mendengar pertanyaan wartawan seperti itu, saya hanya senyum. Kemudian saya bilang begini:

“Mbak, sentimen primordial itu enggak akan pernah luntur dalam benak pemilih ketika kontestasi Pilkada semacam ini. Apalagi dalam konteks masyarakat Jakarta yang majemuk, agak susah dan gak bakal mungkin hilang."

Uraian itu, saya lanjutkan dengan pola komparasi dengan Pilpres Amerika lalu:

"Mbak bisa lihat, di Amerika yang konon masyarakatnya rasional banget, Presiden terpilihnya malah Donald Trump. Seorang yang penuh sikap rasis, merasa superior, dan intoleran terhadap kelompok minoritas. Ini artinya, di negara liberal sekalipun, sentimen primordial masyarakat enggak akan pernah hilang."

Lebih dalam lagi, saya paparkan kepada mereka terkait aspek teoritis yang menjelaskan fenomena ini:

"Anda boleh cek buku-buku politik yang ada. Dalam teori voting behavior, studi pendekatan sosiologis-lah yang pertama lahir, sekitar tahun 40-an. Disusul dengan pendekatan psikologis tahun 50-an, dan model rational choice pada tahun 70-an. Ini berarti bahwa memang secara kajian teoritis, akar sosiologis masyarakat jauh lebih dulu hadir dan eksis, dibanding kajian rasionalitas dalam memilih calon pemimpin."

Di sini saya ingin segera bilang, bahwa kata irasional yang saya maksud, tidak bisa diartikan secara denotatif. Bukan berarti bahwa orang yang mengikuti pendekatan sosiologis maupun psikologis dalam perkara memilih pemimpin itu tidak rasional. Jelas bukan itu penerjemahannya.

Maksud saya, dalam konteks perilaku pemilih tadi, orang-orang yang memilih calon pemimpin di luar pertimbangan model pendekatan rational choice (yakni sosiologis dan psikologis), secara bahasa dan konstruksi sosial hari ini, dianggap sebagai orang yang irasional.

Anda memilih karena elemen kesamaan suku dan agama, maka akan disebut pemilih irasional. Pun begitu bilamana Anda memilih calon pemimpin, karena faktor intrinsik berupa karakter masing-masing kandidat. Maka kelak Anda akan dipandang sebagai seorang yang tidak rasional.

Namun secara makna definisi, lema irasional itu bukan berarti tidak rasional. Terminologi itu hanya digunakan sebagai pembeda antara penganut konsep rational choice dan di luar konsep itu (sosiologis dan psikologis), yang saat ini diyakini masyarakat pada umumnya sebagai bentuk dari irasionalitas.

Mungkin memang, perlu ada pemufakatan kolektif dari para peneliti sosial-politik, untuk mengejawantahkan tipe pemilih di luar model rational choice tadi, ke dalam satu diksi yang lebih halus dan dapat diterima semua kalangan. Agar kelak, tidak timbul kesalahpahaman dan bias persepsi pada masyarakat dalam mengelaborasi fenomena semacam ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun