Menjelang Pilgub DKI 2017, bermunculan berbagai hasil survei elektabilitas berbeda dari lembaga survei yang berbeda. Perbedaan hasil survei yang cukup signifikan dari beberapa lembaga menimbulkan anggapan bahwa hasil suatu survei elektabilitas tergantung ke pasangan calon (paslon) mana lembaga yang bersangkutan berpihak. Tak urung para paslon yang merasa tidak diuntungkan dengan hasil survei tertentu menganggap survei elektabilitas tidak penting.
Sebagian menganggap survei internal yang mereka lakukan memberikan hasil bertolak belakang dari yang dipublikasikan suatu lembaga, yang lain bahkan memandang hasil survei tertentu tak lebih dari sekedar “telolet”. Pada kondisi ini, publik semakin tidak percaya pada metode survei. Padahal survei seharusnya merupakan bagian dari suatu proses menggali informasi secara ilmiah, yang objektif, bebas dari kepentingan pemesannya.
Sebagian besar lembaga survei bernaung pada pernyataan “survei dilakukan dengan metode multistage random sampling dengan jumlah sample/responden sebanyak N dengan margin of error X%”. Di sisi lain, ada anggapan bahwa melakukan suatu survei adalah mudah. Cukup membuat segugus pernyataan (kuesioner) kemudian menentukan atau mencari orang yang bersedia diwawancara.
Padahal, ada kaidah-kaidah statistika yang harus dipertimbangkan dalam menentukan metode sampling mana yang layak untuk digunakan di dalam suatu perancangan sebuah survei. Adalah tanggung jawab lembaga penyelenggara survei untuk memaparkan kepada publik bagaimana proses yang mereka lakukan dalam merekrut responden, agar masyarakat dapat menilai apakah metode yang digunakan oleh lembaga ybs. sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah, khususnya kaidah statistika.
Terkait dengan evaluasi metode survei yang selama ini dinyatakan oleh banyak lembaga survei, PT. Grup Riset Potensial (GRP) sebuah perusahaan Riset Pemasaran independen yang telah beroperasi selama 22 tahun di Indonesia, menganalisis hasil Pilgub DKI terakhir (2012) dan melakukan simulasi terhadap metode multistage random sampling yang selama ini digunakan oleh kebanyakan lembaga survei opini publik.
Pertimbangan penggunaan data hasil Pilgub DKI 2012 karena salah satu kontestan pada Pilgub DKI 2017 juga merupakan paslon pada Pilgub sebelumnya. Data hasil Pilgub DKI 2012 selanjutnya dikaitkan dengan beberapa aspek seperti agama, umur, gender, kepadatan penduduk, dan indikator kesejahteraan wilayah. Dari kajian ini didapati pada Pilgub DKI 2012 elektabilitas paslon berhubungan kuat dengan persentase penduduk muslim.
Fakta tersebut mengindikasikan terdapat keterkaitan yang erat antara proporsi penduduk beragama Islam di suatu kelurahan dengan elektabilitas pasangan Jokowi-Basuki pada Pilgub DKI 2012. Hal ini sangat dapat dimengerti, karena Basuki Tjahaja Purnama bukan beragama Islam.
Secara statistik, korelasi antara populasi muslim dengan elektabilitas Jokowi-Basuki sangat signifikan, yaitu -0.84. Artinya, semakin tinggi proporsi penduduk muslim di suatu kelurahan semakin rendah elektabilitas dari pasangan yang bersangkutan. Dengan menggunakan analisis regresi sederhana diperoleh persamaan :
Elektabilitas = 88.8 % - 0.56 Proporsi Muslim (1)
Berdasarkan persamaan di atas, dapat diperkirakan bahwa pasangan Jokowi-Basuki masih memiiki elektabilitas cukup tinggi (32%) pada kelurahan yang proporsi muslimnya 100%. Sebaliknya, pada kelurahan yang tidak ada penduduk muslim, pasangan tersebut hanya meraih 88.8% suara atau kehilangan 11.2% suara dari penduduk bukan muslim.
Memperhatikan temuan di atas, selayaknya para penyelenggara survei elektabilitas mempertimbangkan perbedaan karakteristik dari wilayah surveinya sebelum menentukan metode sampling yang sesuai. Jadi tidak sembarang menggunakan multistage random sampling pada sembarang situasi.
Menurut kaidah statistika, bila peubah amatan (dalam hal ini elektabilitas) dipengaruhi oleh karakteristik segmen-segmen populasi (contoh di atas proporsi penduduk Islam) maka perlu dilakukan stratifikasi pada populasi target. Sehingga metode sampling yang tepat adalah Stratified Systematic Sampling.
Hasil simulasi statistik pada kasus Pilkada 2012, dengan 1000 percobaan dan jumlah responden 2700, menunjukkan bahwa metode random sampling cenderung berbias ke atas, yaitu hasil prediksi elektabilitas satu Paslon cenderung lebih tinggi dari yang sebenarnya.
Sedangkan, penggunaan metode stratified systematic sampling menghasilkan pendugaan yang tak bias, yaitu secara rata-rata sama dengan sebenarnya. Terkait dengan tingkat ketelitian (margin of error), stratified systematic sampling memiliki margin of error satu setengah kali lebih rendah dibanding random sampling.
Dalam waktu dekat, GRP akan mempublikasikan hasil survei elektabilitas Pilkada 2017 dengan menggunakan metode stratified systematic sampling dan melakukan pemodelan statistika untuk mendapatkan peta elektabilitas di seluruh kelurahan di DKI Jakarta.
Sehingga, hasil survei elektabilitas tidak hanya semata-mata memprediksi tingkat elektabilitas suatu paslon secara total, tetapi memperlihatkan di wilayah mana peluang masing-masing Paslon akan menang atau kalah.
Dengan demikian, sebelum pelaksanaan pemungutan suara, masing-masing paslon dapat mengatur strategi penetrasi di wilayah yang berpeluang kalah dan mempertahankan wilayah yang berpeluang menang. Jadi, seharusnya survei elektabilitas tidak terkesan semata-mata untuk membangun opini publik bagi pemenangan satu paslon.
* Ditulis oleh: Farit M. Afendi, Ph.D (Pengajar pada Dept. Statistika IPB, bergelar Ph.D dari NARA Institute of Science and Technology (NAIST) Jepang, Technical Advisor pada PT. Grup Riset Potensial (GRP).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H