Pada bulan Ramadan yang lalu, bertepatan dengan peringatan malam Nuzulul Qur’an, Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) di komplek perumahan saya (seperti tahun-tahun sebelumnya) menggelar acara ceramah akbar selepas salat tarawih. Gaung acaranya memang telah terdengar jauh-jauh hari diawal bulan Ramadan lewat berbagai poster yang di tempel di seputaran area masjid, dan jalan-jalan komplek.
Namun tak seperti biasanya, beberapa gambar pengisi acara sepanjang bulan Ramadan ini ada yang berbeda. Setelah saya cermati dengan seksama, musababnya tak lain yakni menempelnya gambar Cak Moqsith (Abdul Moqsith Ghazali) yang mengisi jajaran daftar penceramah di bulan Ramadan. Konon, Cak Moqsith di-plot menjadi pengisi materi saat malam Nuzulul Qur’an nanti. Ini dahsyat pikir saya kala itu. Hal ini ibarat oasis di tengah gurun sahara lingkungan DKM, mengingat beberapa tahun belakangan, masjid di komplek saya ini ‘di duduki’ oleh segelintir orang yang masuk dalam ormas konservatif pengusung ide khilaf-ah, yang kerap mendominasi jalannya berbagai diskusi keagamaan di dalamnya.
Namun akhirnya harapan saya melihat paparan mencerahkan ala Cak Moqsith pada malam Nuzulul Qur’an harus kandas. Dari informasi yang saya dapat, terdapat dua faksi yang saling berseteru di grup Whatsapp pengurus DKM, tentang kepastian Cak Moqsith mengisi acara malam itu. Kubu pertama, sebut saja kelompok progresif-revolusioner yang mendukung kesepakatan awal hadirnya Cak Moqsith, dan kubu kedua, sebut saja kelompok konservatif-ortodoks, yang bersikukuh menolak Cak Moqsith menjadi pemateri.
Pada akhirnya golongan terakhir inilah yang menang suara. Cak Moqsith urung menjadi pembicara malam itu, dengan alasan yang cukup klise, bahwa masyarakat di lingkungan komplek masjid saya, belum siap menerima perbedaan cara pandang melihat Islam sebagai sebuah entitas teologi.
Sebagai seorang cendekiawan muslim, pemikiran keislaman Cak Moqsith memang terlampau maju bagi kebanyakan golongan muslim lainnya. Bersama kawan-kawan beliau di Jaringan Islam Liberal (JIL), kajian-kajian bertema agama menjadi sebuah suguhan yang menarik nan bermutu tinggi, karena tak terjebak pada kungkungan dogmatis yang rigid. Lewat penyampaian yang cerdas, dan analisis yang komprehensif dalam menilai sebuah perkara, Cak Moqsith menjadi salah satu tokoh idola saya untuk dinantikan tulisan dan ceramahnya.
Contoh kasus diatas, dalam perspektif saya, cukup menunjukkan gejala yang marak akhir-akhir ini di lingkungan masjid kita. Bangunan masjid, sebagai sebuah rumah besar umat Islam, kini dijadikan arena monopoli oleh segelintir kelompok yang coba melakukan klaim atas eksistensinya. Ekses dari kegagalan pemahaman tersebut, menjadikan kelompok-kelompok keagamaan yang ada berlomba-lomba untuk mendirikan masjid sebagai basecamp jemaahnya dalam menyebarkan dokrin keagamaan.
Hal ini berakibat pada timbulnya sikap selektif umat Muslim, dalam memilih masjid. Ada kesan dilematis, semacam ini masjid ormas A, masjid ormas, B, dan golongan masjid lain yang mengikuti arus pembeda diantara kelompok-kelompok tersebut. Kelak seorang Muslim yang bukan bagian dari kelompok Islam tersebut, akan merasa enggan salat di situ.
Jika telah sampai pada tahap ini, maka hakikat masjid sebagai bangunan rumah ibadah umat Muslim, tak jauh berbeda dengan makna bangunan gereja bagi umat Kristiani, yang memiliki banyak sekte. Berbeda sekte, berarti berbeda gereja. Tentu hal ini merupakan sebuah kesalahan cara pandang melihat esensi Islam seutuhnya. Padahal ratusan tahun silam, Imam Syafi’i telah mengajarkan kita dalam menelaah konsep masjid menurut Islam, yang bermakna satu mashr (tempat), baiknya terdapat satu masjid. Terlepas dari macam aliran kelompok dan  mazhab.
Baiknya memang, menurut pandangan saya, masjid-masjid di sekitar kita tidak di jadikan arena monopoli sebuah ideologi keagamaan. Mengingat hakikat dan definisi masjid itu sendiri, sudah semestinya masjid-masjid yang ada dipergunakan sebagai wadah netral, bagi tumbuh kembangnya berbagai pemikiran keislaman. Bisa saja hari ini pengisi ceramahnya kyai NU, atau besok diganti dengan ulama Muhammadiyah. Begitupun lusa misalnya, diisi ustadz Salafi, dan seterusnya dengan penyampaian paparan tokoh-tokoh mazhab lain.
Sehingga umat Muslim pada umumnya, akan disuguhkan berbagai hidangan kaya konsep mengenai Islam (yang juga kaya akan khazanah) beserta cara pandang melihat itu. Pada akhirnya, menuntun para jamaah untuk menentukan jalan keislaman yang dianggap paling ideal dengan persepsi dan keyakinannya (bukan dengan jalan pemaksaan ideologi), menjadi kredo utama dari pemanfaatan ruang masjid sebagai ruang publik dan sarana dakwah.
Jadi, anda ingin masuk aliran yang mana? Islam progresif nan revolusioner, yang inklusif dan toleran dengan varian pemikiran mazhab. Atau berdiri di samping konservatisme dan ortodoksi dalam menerima pemikiran, serta memahami teologi Islam?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H