Seri 4 : Catatan Harian Sarwo Edhie Wibowo (Penutup)
Sarwo Edhie hanya mengenal dua dunia, yaitu keluarga dan kemiliteran. Kedua dunia itu, dan dalam diri seorang Sarwo Edhie Wibowo, sama sekali terpisah. Secara prinsip, tugas kemiliteran bagi Sarwo Edhie adalah ketaatan dalam disiplin. Sedangkan keluarga adalah tempat mengabdi dan mengayomi.
Sarwo Edhie tidak mencoba menghubungkan keduanya. Artinya, tidak ada peluang untuk saling memanfaatkan dua dunia itu, untuk menarik keuntungan atau kompromi tertentu. Di samping itu Sarwo sangat tertutup jika ditanya soal tugas kemiliteran yang diembannya. Bahkan, ketika ditanyakan oleh istrinya sendiri.
Sulit membayangkan bagaimana pribadi yang bersikukuh untuk selalu ada di dunia militer harus pindah ke dunia lain? Akan tetapi, itulah realitas yang dihadapi seorang Sarwo Edhie yang pernah mendapat pendidikan militer calon perwira Peta, Magelang; Infantry Officer Advanced Course (Kursus Lanjutan Perwira Infanteri)Â di Fort Benning, Amerika Serikat, dan Command and General Staff College (Sekolah Staf dan Komando/Sesko), di Australia. Riwayat pendidikan kemiliterannya merefleksikan konsistensinya untuk menjadi prajurit pejuang dan prajurit profesional sepenuhnya.
Ironisnya, sebagian besar karier Sarwo Edhie pada masa Orde Baru, lebih banyak pada tugas-tugas kekaryaan. Sebagai orang yang dikaryakan, Sarwo Edhie bisa dikatakan tidak memainkan peranan yang sentral. Ia bukan superstar, bahkan dialah salah satu contoh generasi '45 yang tidak memiliki kecanggihan dalam berpolitik. Itulah pula agaknya yang menyebabkan ia tidak terlalu lama menempati posisi sebagai Pangdam XVII/Cendrawasih yang juga harus pula mampu mengelola soal-soal politik di wilayah otoritasnya, Sarwo Edhie memang lebih tepat sebagai elite militer, daripada elite politik.
Letnan Jenderal TNI Purnawirawan ini menyukai film sejarah dan kolosal, seperti halnya Benhur, dan memilih Jenderal Douglas Mc. Arthur serta Jenderal Rommel sebagai tokoh yang dikaguminya. Namun, ia tetap menyukai wayang dan keris. Ia mewariskan tujuh keris kepada ketujuh putra putrinya, buah pernikahannya dengan Sunarti Sri Hadiyah (Yogyakarta, 20 Mei 1930), yaitu Wijiasih Cahyasasi (Magelang, 27 Januari 1950), Wrahasti Cendrawasih (Magelang, 6 Juli 1951), Kristiani Herawati (Yogyakarta, 6 Juli 1952), Mastuti Rahayu (Yogyakarta, 15 Juli 1953), Pramono Edhie Wibowo (Magelang, 5 Mei 1955), Retno Cahyaning Tyas (Cimahi, 31 Mei 1960), dan Hartanto Edhie Wibowo (Jakarta, 31 Mei 1969).
Susilo Bambang Yudhoyono mengemban amanat sebagai Presiden RI ke-6 selama dua periode 2004-2014.
Salah seorang anak lelakinya yang tertua (Pramono Edhie Wibowo), mengikuti jejaknya sebagai militer dan menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat ke-27 (2011-2013). Dua menantunya juga Jenderal, salah satunya adalah Jenderal Purnawirawan Prof. Dr. H.Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta, pada Kamis dini hari pukul 03.40 dalam usia 64 tahun. Menurut keterangan dokter, Sarwo Edhie terkena stroke. Hal itu bermula ketika ia mulai menderita diabetes dan tekanan darah tinggi, sehingga mengalami kelumpuhan pada kakinya, di Bandung, Maret 1989. Saat itu, ia usai menghadiri acara pendidikan dasar Wanadri. Dalam keadaan tidak mampu berjalan, Sarwo Edhie segera dibawa ke Jakarta dan dirawat di Metropolitan Medical Center (MMC) Kuningan.
pengungsian medik udara TNI AU untuk mendapatkan perawatan lanjutan  di rumah sakit Angkatan Darat AS Walter Rees, di Washington DC. Namun, ternyata kondisinya tidak mengalami kemajuan, dan akhirnya dibawa kembali ke Jakarta.
Dua bulan kemudian, ia diterbangkan ke Amerika Serikat melalui bantuanKemudian Sarwo Edhie dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, dan ayah tujuh anak itu, menghembuskan nafas terakhirnya. Jenazahnya dimakamkan berdampingan dengan ayah bundanya di Ngupasan, Purworejo, Jawa Tengah, bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 1989.
Atas jasa-jasanya kepada bangsa dan negara, Sarwo Edhie dianugerahi berbagai tanda asa oleh pemerintah, antara lain : Medali Sewindu APRI; Satya Lencana Perang Kemerdekaan ke I; Satya Lencana Perang Kemerdekaan ke II; Satya Lencana Gerakan Operasi Militer (GOM) I, III, V, GOM VI; Satya Lencana Penegak; Satya Lencana Kesetiaan 24 tahun; Satya Lencana Satya Dharma; Satya Lencana Wira Dharma; Satya Lencara PEPERA.
Di samping itu Sarwo Edhie juga mendapatkan penghargaan bintang jasa yang dimilikinya berupa Bintang Gerilya, Bintang Dharma, Bintang Kartika Eka Paksi, Bintang Nararya, Bintang Swa Buana Paksa, Bintang Kartika Ekapaksi Klas 2 dan Bintang Maha Putera Adhipratama. Sarwo Edhie juga memperoleh tanda penghargaan diplomatik 'Gwanghwa Medal' dari Presiden Korea Selatan, Park Chung Hee, tahun 1978.
Sejarah tidak hanya mencatat para pejabat dengan jabatan formal yang serba tinggi. Sejarah juga mencatat para pejuang moral yang tidak menduduki jabatan formal, tetapi memiliki kualitas kepemimpinan yang arif bijaksana dan matang, serta memberikan inspirasi dan motivasi kejuangan moral dengan etika sosial yang luhur.
Pada titik inilah, figur Sarwo Edhie Wibowo akan terus dikenag. Tentu, Sarwo Edhie bukanlah manusia yang sepenuhnya ideal. Akan tetapi, seorang pemimpin yang berjuang melawan kekurangan-kekurangan wataknya sendiri. Inilah yang kemudian dilakukan seorang Sarwo Edhie untuk menginsyafi sejarahnya sendiri, di mana sebagian jejaknya mesti dibasuhnya kembali lewat keterbukaan hati. Kesetiaan pada tugas korps memang harus dijalankan sepenuhnya dengan keteguhan profesional.
Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo telah menuntaskan fase sejarah yang bergejolak itu, dalam episode paling penting di karier militernya. Namun, sebagai manusia hablum minannas dia juga harus menguji ketulusan insaninya untuk membasuh dan berdamai dengan jejak sejarah yang masih membekas.
Sampai akhir hayatnya, Sarwo Edhie tidak sempat mewariskan tulisan apa pun berkenaan dengan biografinya. Meskipun dirinya pernah berjanji di depan pers bahwa ia akan menulis tiga buah buku, yakni Buku Harian Kapten Sarwo Edhie, Buku Harian Kolonel Sarwo Edhie, dan Buku Harian Letjen Sarwo Edhie.
Keinginan untuk menyusun otobiografi itu sayangnya terhenti di tengah jalan ketika Sarwo Edhie dipindah tugaskan menjadi Duta Besar RI di Korea Selatan, sehingga keinginan tersebut belum tuntas sampai dengan akhir hayatnya. Padahal upaya untuk menuliskan berbagai peristiwa penting dari tokoh sejarah ini kedalam sebuah buku merupakan upaya untuk menjahit kembali berbagai fakta sejarah dan kenangannya yang masih tercecer.
Selamat beristirahat dengan tenang di alam keabadian Jendral.
Selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H