Mohon tunggu...
Akbar Linggaprana
Akbar Linggaprana Mohon Tunggu... Seniman - Melukis, Menulis dan Mengajar merupakan aktifitas yang mengasyikkan

Lahir di Yogyakarta 16 Oktober 1956. Tahun 1981 memenuhi panggilan Perwira Wajib Militer ABRI dan aktif sebagai prajurit TNI Angkatan Udara. Setelah mengikuti berbagai macam jenjang pendidikan, latihan dan penugasan, pada tahun 2014 mendapat promosi jabatan bintang. Jabatan terakhir militer yang diemban adalah Perwira Tinggi Staf Ahli Kepala Staf TNI Angkatan Udara bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan pada akhir penugasannya diperbantukan kepada Presiden RI ke-6 sebagai Asisten Staf Khusus Presiden Republik Indonesia Bidang Publikasi dan Dokumentasi. Setelah pensiun dari TNI Angkatan Udara pada tahun 2015, kembali aktif menekuni profesinya sebagai pelukis, penulis dan pengajar dan aktif mengikuti pameran lukisan di berbagai tempat, baik di dalam negeri maupun luar negeri. https:www://facebook.com/Akbar Linggaprana https://www.instagram.com/akbarlinggaprana_arts https://www.youube.com/Lingga Prana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hidupku untuk Negara dan Bangsa

23 Juni 2021   09:16 Diperbarui: 23 Juni 2021   10:58 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebagai pelindung Wanadri saat menjadi inspektur upacara pelantikan anggota baru di Situ Lembang Bandung, 1983 / gerakita.com

Seri 4 : Catatan Harian Sarwo Edhie Wibowo (Penutup)

Sarwo Edhie hanya mengenal dua dunia, yaitu keluarga dan kemiliteran. Kedua dunia itu, dan dalam diri seorang Sarwo Edhie Wibowo, sama sekali terpisah. Secara prinsip, tugas kemiliteran bagi Sarwo Edhie adalah ketaatan dalam disiplin. Sedangkan keluarga adalah tempat mengabdi dan mengayomi.

Sarwo Edhie tidak mencoba menghubungkan keduanya. Artinya, tidak ada peluang untuk saling memanfaatkan dua dunia itu, untuk menarik keuntungan atau kompromi tertentu. Di samping itu Sarwo sangat tertutup jika ditanya soal tugas kemiliteran yang diembannya. Bahkan, ketika ditanyakan oleh istrinya sendiri.

Sulit membayangkan bagaimana pribadi yang bersikukuh untuk selalu ada di dunia militer harus pindah ke dunia lain? Akan tetapi, itulah realitas yang dihadapi seorang Sarwo Edhie yang pernah mendapat pendidikan militer calon perwira Peta, Magelang; Infantry Officer Advanced Course (Kursus Lanjutan Perwira Infanteri) di Fort Benning, Amerika Serikat, dan Command and General Staff College (Sekolah Staf dan Komando/Sesko), di Australia. Riwayat pendidikan kemiliterannya merefleksikan konsistensinya untuk menjadi prajurit pejuang dan prajurit profesional sepenuhnya.

Saat mengikuti pendidikan Sekolah Staf dan Komando (Command and General Staff College) Fort Queenshlift, Australia (via kumparan)
Saat mengikuti pendidikan Sekolah Staf dan Komando (Command and General Staff College) Fort Queenshlift, Australia (via kumparan)
Ironisnya, sebagian besar karier Sarwo Edhie pada masa Orde Baru, lebih banyak pada tugas-tugas kekaryaan. Sebagai orang yang dikaryakan, Sarwo Edhie bisa dikatakan tidak memainkan peranan yang sentral. Ia bukan superstar, bahkan dialah salah satu contoh generasi '45 yang tidak memiliki kecanggihan dalam berpolitik. Itulah pula agaknya yang menyebabkan ia tidak terlalu lama menempati posisi sebagai Pangdam XVII/Cendrawasih yang juga harus pula mampu mengelola soal-soal politik di wilayah otoritasnya, Sarwo Edhie memang lebih tepat sebagai elite militer, daripada elite politik.

Letnan Jenderal TNI Purnawirawan ini menyukai film sejarah dan kolosal, seperti halnya Benhur, dan memilih Jenderal Douglas Mc. Arthur serta Jenderal Rommel sebagai tokoh yang dikaguminya. Namun, ia tetap menyukai wayang dan keris. Ia mewariskan tujuh keris kepada ketujuh putra putrinya, buah pernikahannya dengan Sunarti Sri Hadiyah (Yogyakarta, 20 Mei 1930), yaitu Wijiasih Cahyasasi (Magelang, 27 Januari 1950), Wrahasti Cendrawasih (Magelang, 6 Juli 1951), Kristiani Herawati (Yogyakarta, 6 Juli 1952), Mastuti Rahayu (Yogyakarta, 15 Juli 1953), Pramono Edhie Wibowo (Magelang, 5 Mei 1955), Retno Cahyaning Tyas (Cimahi, 31 Mei 1960), dan Hartanto Edhie Wibowo (Jakarta, 31 Mei 1969).

 Bersama isteri dan ketujuh anaknya. Dokumentasi diambil saat menjadi Duta Besar RI untuk Korea Selatan (intisari.grid.id)
 Bersama isteri dan ketujuh anaknya. Dokumentasi diambil saat menjadi Duta Besar RI untuk Korea Selatan (intisari.grid.id)
Salah seorang anak lelakinya yang tertua (Pramono Edhie Wibowo), mengikuti jejaknya sebagai militer dan menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat ke-27 (2011-2013). Dua menantunya juga Jenderal, salah satunya adalah Jenderal Purnawirawan Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono mengemban amanat sebagai Presiden RI ke-6 selama dua periode 2004-2014.

Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta, pada Kamis dini hari pukul 03.40 dalam usia 64 tahun. Menurut keterangan dokter, Sarwo Edhie terkena stroke. Hal itu bermula ketika ia mulai menderita diabetes dan tekanan darah tinggi, sehingga mengalami kelumpuhan pada kakinya, di Bandung, Maret 1989. Saat itu, ia usai menghadiri acara pendidikan dasar Wanadri. Dalam keadaan tidak mampu berjalan, Sarwo Edhie segera dibawa ke Jakarta dan dirawat di Metropolitan Medical Center (MMC) Kuningan.

Sebagai pelindung Wanadri saat menjadi inspektur upacara pelantikan anggota baru di Situ Lembang Bandung, 1983 / gerakita.com
Sebagai pelindung Wanadri saat menjadi inspektur upacara pelantikan anggota baru di Situ Lembang Bandung, 1983 / gerakita.com
Dua bulan kemudian, ia diterbangkan ke Amerika Serikat melalui bantuan pengungsian medik udara TNI AU untuk mendapatkan perawatan lanjutan  di rumah sakit Angkatan Darat AS Walter Rees, di Washington DC. Namun, ternyata kondisinya tidak mengalami kemajuan, dan akhirnya dibawa kembali ke Jakarta.

Kemudian Sarwo Edhie dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, dan ayah tujuh anak itu, menghembuskan nafas terakhirnya. Jenazahnya dimakamkan berdampingan dengan ayah bundanya di Ngupasan, Purworejo, Jawa Tengah, bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 1989.

Atas jasa-jasanya kepada bangsa dan negara, Sarwo Edhie dianugerahi berbagai tanda asa oleh pemerintah, antara lain : Medali Sewindu APRI; Satya Lencana Perang Kemerdekaan ke I; Satya Lencana Perang Kemerdekaan ke II; Satya Lencana Gerakan Operasi Militer (GOM) I, III, V, GOM VI; Satya Lencana Penegak; Satya Lencana Kesetiaan 24 tahun; Satya Lencana Satya Dharma; Satya Lencana Wira Dharma; Satya Lencara PEPERA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun