Seri 3 : Catatan Harian Sarwo Edhie Wibowo
Dari jabatan Komandan RPKAD kini Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yang merupakan kekuatan pemukul riil G.30 S/PKI, serta simbol bagi lahirnya tokoh hero politik, Sarwo Edhie kemudian dipindahkan sebagai Pangdam II Bukit Barisan.
Dalam jargon politik waktu itu, dipindahkannya Sarwo Edhie ke Medan adalah untuk menguji ketabahan, integritas, dan dedikasinya dapat bertahan menghadapi 'percukongan gaya Medan' (Sumatera Utara) yang dikenal ampuh.
Sebelum menginjakkan kakinya di Medan, Sarwo Edhie terkenal dengan ucapannya, "Saya datang ke Medan dengan dua kopor dan akan keluar dari sana dengan dua kopor yang sama". Namun sewaktu menjadi Pangdam II Bukit Barisan Sumatera Utara, Sarwo Edhie terkena 'kartu kuning', tidak lama setelah ia membekukan PNI di wilayah Kodam II Bukit Barisan.
Selesai bertugas di Medan, Sarwo Edhie dipindahkan sebagai Pangdam XVII/Cendrawasih di ujung wilayah Indonesia : Irian Jaya, dengan sebuah misi strategis, untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di provinsi yang masih gawat itu.
Sewaktu menjabat Pangdam XVII/Cendrawasih, sejak 25 Juni 1968 sampai tahun 1970 itulah, dengan pangkat Brigjen TNI, Sarwo Edhie Wibowo mengubah kebijakan operasi tempur menjadi pendekatan persuasif di Irian Jaya.
Kala itu, berbagai laporan menyebutkan, antara tahun 1964-1968, begitu banyak penduduk tersungkur dihantam timah panas di daerah itu akibat sejumlah penduduk setempat menuntut kemerdekaan. Keadaan memilukan itu, tampaknya menjadi perhatian serius Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo. Ia segera mengambil langkah tegas untuk memulihkan nama dan wibawa TNI yang sudah tercoreng di mata penduduk Irian Jaya.
Di bawah sandi Operasi Wibawa, ia menindak tegas aparat yang sewenang-wenang terhadap rakyat. Di lain pihak ia menghimbau pemberontak keluar dari hutan dan kembali ke desa. Ia menjamin mereka yang mau kembali kepangkuan ibu pertiwi tidak akan diproses secara hukum.
Dari Irian Jaya, Sarwo Edhie kembali ke Pulau Jawa menjadi Gubernur Akabri. Inilah puncak karier militernya. Selama menjabat Gubernur Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRl), ia selalu mengedepankan nilai-nilai kesederhanaan. Kesederhanaan Sarwo Edhie bisa dilihat saat menjabat Gubernur Akabri Udarat selalu membawa makanan rantangan sendiri dari rumah.
Di samping membina anjangsana antara taruna dan mahasiswa, Sarwo Edhie meneruskan tradisi hubungan baik dengan generasi muda sipil kepada anak didiknya di dunia militer. Hal demikian tidak aneh, karena Sarwo Edhie merupakan figur yang dikenal dekat dengan mahasiswa sejak tahun 1965, untuk ikut menggulirkan Tritura.
Setelah itu, Sarwo Edhie memasuki karier non-militer, sebagai Duta Besar di Korea Selatan. Sarwo Edhie memilih Seoul, karena masih ingin mengamati dari dekat perkembangan politik di Tanah Air.