Mohon tunggu...
Akbar Linggaprana
Akbar Linggaprana Mohon Tunggu... Seniman - Melukis, Menulis dan Mengajar merupakan aktifitas yang mengasyikkan

Lahir di Yogyakarta 16 Oktober 1956. Tahun 1981 memenuhi panggilan Perwira Wajib Militer ABRI dan aktif sebagai prajurit TNI Angkatan Udara. Setelah mengikuti berbagai macam jenjang pendidikan, latihan dan penugasan, pada tahun 2014 mendapat promosi jabatan bintang. Jabatan terakhir militer yang diemban adalah Perwira Tinggi Staf Ahli Kepala Staf TNI Angkatan Udara bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan pada akhir penugasannya diperbantukan kepada Presiden RI ke-6 sebagai Asisten Staf Khusus Presiden Republik Indonesia Bidang Publikasi dan Dokumentasi. Setelah pensiun dari TNI Angkatan Udara pada tahun 2015, kembali aktif menekuni profesinya sebagai pelukis, penulis dan pengajar dan aktif mengikuti pameran lukisan di berbagai tempat, baik di dalam negeri maupun luar negeri. https:www://facebook.com/Akbar Linggaprana https://www.instagram.com/akbarlinggaprana_arts https://www.youube.com/Lingga Prana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hidupku untuk Negara dan Bangsa

26 Mei 2021   10:15 Diperbarui: 28 Mei 2021   07:19 1966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seri 2 : Catatan Harian Sarwo Edhie Wibowo

Selama perjuangan melawan Belanda setelah Proklamasi, wilayah operasi Sarwo Edhie Wibowo berada di sekitar Kedu. Di sanalah ia bersama-sama Ahmad Yani (terakhir Jenderal TNI) berjuang yang juga berasal dari Purworejo.

Awal karier militernya bermula sebagai komandan Kompi. Ketika pengakuan kedaulatan atas Indonesia pada tahun 1949, Sarwo Edhie menjadi komandan satuan dan satuan ini merupakan satu-satunya yang memiliki mortir di wilayah tersebut pada waktu itu.

Pada tahun 1952-1953, Sarwo Edhie menjadi Komandan Batalion 439 Tentara dan Teritorium IV/Diponegoro. Tahun 1958, ia menjabat Wakil Komandan Resimen Taruna Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, dan salah satu anak asuhnya adalah Edi Sudrajat (terakhir Jenderal TNI).

Jabatan tinggi di korps Baret Merah dimulai ketika menjabat Komandan Sekolah Komando AD (1959-1961), Kepala Staf Resimen Para Komandan Angkatan Darat (RPKAD / 1962-1964), dan akhirnya menjadi Komandan RPKAD (sekarang Danjen Kopassus) pada tahun 1965.

Kolonel Infanteri Sarwo Edhie Wibowo merupakan Komandan RPKAD paling populer. Dialah, yang secara operasional bersama Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto dan Pangdam Jaya Umar Wirahadikusumah, menyelamatkan ibu kota pada 1 Oktober 1965, dan hari-hari berikutnya, setelah sehari sebelumnya PKI mengumumkan isu kudeta Dewan Jenderal, dan melakukan aksi penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh Jenderal.

Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo (tengah) mendampingi Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto (Dokpri)
Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo (tengah) mendampingi Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto (Dokpri)
Sarwo Edhie bersama pasukan RPKAD dalam waktu singkat berhasil menguasai kembali gedung RRI pusat dan Telkom Pusat di Jakarta, yang sebelumnya dijadikan corong gerakan pemberontakan PKI. Pasukannya pula yang berhasil membebaskan kompleks Lubang Buaya.

Pada tahun 1957 Sarwo Edhie juga pernah membuktikan dirinya tidak hanya jago teori perang saja, tetapi dengan teknik dadakan yang jitu, Sarwo Edhie memimpin pasukannya merebut lapangan terbang Mapanget, Manado, dari pasukan pemberontak Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), yang sangat terlatih dan bersenjata lengkap.

Sarwo Edhie diterjunkan ke Jawa Tengah, untuk melaksanakan operasi penumpasan terhadap G.30 S/PKI. Pada tahun 1966 yang hiruk pikuk, rakyat haus mendengarkan pidato Sarwo Edhie yang membangkitkan semangat. Komandan RPKAD yang berwibawa dan populis serta didukung semangat pasukannya ini, telah menumbuhkan kekuataan rakyat untuk berani menumpas G.30 S/PKI.

Di kota, sampai di desa-desa seputar Jawa Tengah dan Jawa Timur, selama lebih kurang 4 jam sehari, massa rakyat rela berlatih teknik kemiliteran, untuk membangun solidaritas dalam menumpas G.30 S/PKI

Keputusan dan perintah Sarwo Edhie untuk mengadakan gerakan ekstensif menumpas PKI, telah menimbulkan efek snowball. Karena itu, dapat dimengerti bila masyarakat kemudian mengelu-elukan Sarwo Edhie sebagai sosok pahlawan. Nama Sarwo Edhie, yang berarti serba baik dan si pengagum tokoh Bima sebagai simbol karakter yang berani, perkasa, kasar tetapi jujur segera menjulang.

Di kalangan mahasiswa, sosok Sarwo Edhie juga populer. RPKAD merupakan tumpuan harapan kesatuan-kesatuan aksi, untuk menggalang kerja sama antara gerakan mahasiswa dengan ABRI dalam menghadapi provokasi PKI dan Orde Lama.

Di pusat penggalangan kekuatan arus bawah itu, Sarwo Edhie menjadi idola. Keidolaannya lebih mencuat kepermukaan pada saat ia dielu-elukan di halaman Fakultas Kedokteran UI, oleh puluhan ribu mahasiswa anggota Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada 10 Januari 1966.

Koloel Inf Sarwo Edhie Wibowo di halaman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1966 (Dokpri)
Koloel Inf Sarwo Edhie Wibowo di halaman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1966 (Dokpri)
Bahana suara nyaring generasi muda bangsa yang menuntut keadilan dan kebenaran menggema. Mereka seakan menabuh genderang perang terhadap PKI dan Orde Lama. Di hadapan seorang prajurit pejuang, dan Saptamargais sejati, suara Tritura menjadi lebih melengking kala Sarwo Edhie naik ke panggung, dan dengan lantang menyerukan : "Bubarkan PKI, Turunkan Harga, dan Ritul Kabinet".

Namun, sikap dan karakter tokoh Bima, yang bertutur kata apa adanya tanpa nuansa diplomatis dan tanpa sikap akomodatif politis, mungkin kurang cocok dalam lingkungan elite kekuasaan ketika itu.

Sambutan mahasiswa terhadap Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo (Dokpri)
Sambutan mahasiswa terhadap Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo (Dokpri)
Di sisi lain, pada periode 1966-1967, ketika kekuasaan Orde Baru belum sepenuhnya terkonsolidasi dengan baik, peluang politik Sarwo Edhie untuk mendapatkan promosi sebenarnya terbuka lebar. Ia teramat populer dan kharismatik. Potensi personal seperti itu nampaknya telah menimbulkan "ancaman" tersendiri bagi pusat kekuasaan yang belum solid tersebut.

Bersambung ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun