Seri 2 : Catatan Harian Sarwo Edhie Wibowo
Selama perjuangan melawan Belanda setelah Proklamasi, wilayah operasi Sarwo Edhie Wibowo berada di sekitar Kedu. Di sanalah ia bersama-sama Ahmad Yani (terakhir Jenderal TNI) berjuang yang juga berasal dari Purworejo.
Awal karier militernya bermula sebagai komandan Kompi. Ketika pengakuan kedaulatan atas Indonesia pada tahun 1949, Sarwo Edhie menjadi komandan satuan dan satuan ini merupakan satu-satunya yang memiliki mortir di wilayah tersebut pada waktu itu.
Pada tahun 1952-1953, Sarwo Edhie menjadi Komandan Batalion 439 Tentara dan Teritorium IV/Diponegoro. Tahun 1958, ia menjabat Wakil Komandan Resimen Taruna Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, dan salah satu anak asuhnya adalah Edi Sudrajat (terakhir Jenderal TNI).
Jabatan tinggi di korps Baret Merah dimulai ketika menjabat Komandan Sekolah Komando AD (1959-1961), Kepala Staf Resimen Para Komandan Angkatan Darat (RPKAD / 1962-1964), dan akhirnya menjadi Komandan RPKAD (sekarang Danjen Kopassus) pada tahun 1965.
Kolonel Infanteri Sarwo Edhie Wibowo merupakan Komandan RPKAD paling populer. Dialah, yang secara operasional bersama Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto dan Pangdam Jaya Umar Wirahadikusumah, menyelamatkan ibu kota pada 1 Oktober 1965, dan hari-hari berikutnya, setelah sehari sebelumnya PKI mengumumkan isu kudeta Dewan Jenderal, dan melakukan aksi penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh Jenderal.
Sarwo Edhie bersama pasukan RPKAD dalam waktu singkat berhasil menguasai kembali gedung RRI pusat dan Telkom Pusat di Jakarta, yang sebelumnya dijadikan corong gerakan pemberontakan PKI. Pasukannya pula yang berhasil membebaskan kompleks Lubang Buaya.
Pada tahun 1957 Sarwo Edhie juga pernah membuktikan dirinya tidak hanya jago teori perang saja, tetapi dengan teknik dadakan yang jitu, Sarwo Edhie memimpin pasukannya merebut lapangan terbang Mapanget, Manado, dari pasukan pemberontak Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), yang sangat terlatih dan bersenjata lengkap.
Sarwo Edhie diterjunkan ke Jawa Tengah, untuk melaksanakan operasi penumpasan terhadap G.30 S/PKI. Pada tahun 1966 yang hiruk pikuk, rakyat haus mendengarkan pidato Sarwo Edhie yang membangkitkan semangat. Komandan RPKAD yang berwibawa dan populis serta didukung semangat pasukannya ini, telah menumbuhkan kekuataan rakyat untuk berani menumpas G.30 S/PKI.
Di kota, sampai di desa-desa seputar Jawa Tengah dan Jawa Timur, selama lebih kurang 4 jam sehari, massa rakyat rela berlatih teknik kemiliteran, untuk membangun solidaritas dalam menumpas G.30 S/PKI
Keputusan dan perintah Sarwo Edhie untuk mengadakan gerakan ekstensif menumpas PKI, telah menimbulkan efek snowball. Karena itu, dapat dimengerti bila masyarakat kemudian mengelu-elukan Sarwo Edhie sebagai sosok pahlawan. Nama Sarwo Edhie, yang berarti serba baik dan si pengagum tokoh Bima sebagai simbol karakter yang berani, perkasa, kasar tetapi jujur segera menjulang.