Mohon tunggu...
Linggan Aji Pamungkas
Linggan Aji Pamungkas Mohon Tunggu... -

Menulis adalah obat yang harus saya telan ditengah mesin-mesin industri berkulit manusia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Masihkah Hidup Ini Layak untuk Kita Jalani? Antropologi Diri

28 Februari 2019   09:40 Diperbarui: 28 Februari 2019   10:14 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2 kata yang menjadi pusat imaji dan dialektika saya beberapa hari ini "Hidup" dan "kehidupan" sebenarnya sudah 2500 tahun lalu dibahas. cuman orang malas mengungkit- ungkit hal-hal dari 2500 tahun silam. sekarang eranya kopi to? (diamput tenan wkwk) okelah.

Hidup Dan Kehidupan sendiri memiliki makna sastrawi dan semiotiknya sendiri ada imbuhan berarti dia melakukan sesuatu, ada makna tambahan didalam imbuhan ke- dan -an

kalau tunggal dia pasif bermakna lebih sempit, bisa saja diasosiakan ke binatang dan tumbuhan karena mereka juga hidup.

kehidupan sendiri juga dimaknai oleh berbagai cabang keilmuan seperti bilogi, fisika, kimia dan matematika dan sesungguhnya segala keriuh rendahan pengetahuan zaman dulu digunakan untuk menjawab satu pertanyaan simpel itu ?

apa itu kehidupan ? mengapa terjadi ?

sampai sekarang profesor pemenang nobel pun masih mencari dengan kekuatan ilmu dan hasilnya nihil tentang kehidupan.

sedang saya disini masih terperangkap oleh sistem, urusan perut, pemenuhan kebutuhan hidup, bukan mencari apa makna kehidupan itu sendiri?

kalau didalam islam, kata hidup dan kehidupan sudah punya pijakan jelas tidak usah dipertentangkan. kalaupun dipertentangkan karena iman belum mentok atau ilmu baru sejengkal. atau jangan2 sudah percaya total tetapi sengaja ingin mempertanyakan dan pura-pura meragukannya kembali supaya ada kesibukan saja (uhuk)

tetapi dalam ranah filsafat, kehidupan sendiri sejak zaman yunani kuno antara guru dan murid, socrates dan plato mereka sudah mempertanyakan apa itu manusia? apa itu kehidupan? dan mereka mulai sekitar 2500 tahun lalu.

apakah kita telat untuk mempertanyakan hal tersebut ? pertanyaan ini pun jadi landasan bagi pengalaman empiris sosiologis saya, yang pada akhirnya menjadi dasar untuk menulis narasi antropologi kalau boleh disebut begitu.

saya hanya heran, kenapa pula perusahaan bisa mengambil waktu saya yang tidak bisa kembali ini ? kenapa pula di negara ini atas nama rakyat menindas rakyat yang notabene adalah bos mereka sendiri, negara sial aku bilang. kenapa pula saya harus membeli tanah yang notabene memang tanah kelahiran saya sendiri? (piye to iki)

catatan catatan memoar tentang tokoh-tokoh revolusioner dan penentang zaman seperti pak Pram dan Gie menjadi bacaan yang setidaknya melegakan hati saya ditengah kolonialisme pemikiran dan gaya penjajahan baru melalui teknologi dan industri

menulis bagi saya adalah satu dari sekian obat yang saya telan supaya saya tetap waras ditengah mesin-mesin industri berkulit manusia.

ya mereka mesin bukan manusia, apa salahnya jika kusebut demikian? dengan materi bisa membeli hidup tapi tidak dengan kehidupan begitu fikirku.

tapi mereka anehnya tidak meronta dengan hidup demikian, tidak protes, tidak menghujat, bahkan cenderung pasrah dengan atmosfer mesin industri yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi dari pada manusia itu sendiri.

apalagi kalau sudah berbicara pendidikan, lha wong sekolah dan ilmu saja tidak bisa membedakan keduanya. padahal keduanya merupakan entitas yang berbeda outputnya jelas berbeda. sekolah = ijazah, sedang ilmu = Rasa peduli dan empati.

dan sekarang lebih penting sekolah daripada ilmu itu sendiri, mungkin karena manusia dikuasai industri, kebutuhan akan kompetensi/ijazah dan perut jadi lebih urgent dari pada kebutuhan jiwa dan fikiran. mirip sudah hewan.

seharusnya para ulama dan cerdik cendekia yang ada di republik ini tahu kemana peradaban umat manusia harus melangkah bukan ? bukan ndempet2 ke kekuasaan seperti sekarang.

bukan pula mengejar angka2 pertumbuhan ekonomi. bukan pula mengejar angka-angka indeks blablabla dari forum internasional, bukan pula mengejar ijazah untuk bekerja di perusahaan multikompeni (uhuk)

sekali lagi apakah hidup ini layak kita jalani ?

apakah kita berani menyalakan api keberanian ini?, setidaknya satu kali dalam kehidupan ini dan menulis.

aku manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun