saya hanya heran, kenapa pula perusahaan bisa mengambil waktu saya yang tidak bisa kembali ini ? kenapa pula di negara ini atas nama rakyat menindas rakyat yang notabene adalah bos mereka sendiri, negara sial aku bilang. kenapa pula saya harus membeli tanah yang notabene memang tanah kelahiran saya sendiri? (piye to iki)
catatan catatan memoar tentang tokoh-tokoh revolusioner dan penentang zaman seperti pak Pram dan Gie menjadi bacaan yang setidaknya melegakan hati saya ditengah kolonialisme pemikiran dan gaya penjajahan baru melalui teknologi dan industri
menulis bagi saya adalah satu dari sekian obat yang saya telan supaya saya tetap waras ditengah mesin-mesin industri berkulit manusia.
ya mereka mesin bukan manusia, apa salahnya jika kusebut demikian? dengan materi bisa membeli hidup tapi tidak dengan kehidupan begitu fikirku.
tapi mereka anehnya tidak meronta dengan hidup demikian, tidak protes, tidak menghujat, bahkan cenderung pasrah dengan atmosfer mesin industri yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi dari pada manusia itu sendiri.
apalagi kalau sudah berbicara pendidikan, lha wong sekolah dan ilmu saja tidak bisa membedakan keduanya. padahal keduanya merupakan entitas yang berbeda outputnya jelas berbeda. sekolah = ijazah, sedang ilmu = Rasa peduli dan empati.
dan sekarang lebih penting sekolah daripada ilmu itu sendiri, mungkin karena manusia dikuasai industri, kebutuhan akan kompetensi/ijazah dan perut jadi lebih urgent dari pada kebutuhan jiwa dan fikiran. mirip sudah hewan.
seharusnya para ulama dan cerdik cendekia yang ada di republik ini tahu kemana peradaban umat manusia harus melangkah bukan ? bukan ndempet2 ke kekuasaan seperti sekarang.
bukan pula mengejar angka2 pertumbuhan ekonomi. bukan pula mengejar angka-angka indeks blablabla dari forum internasional, bukan pula mengejar ijazah untuk bekerja di perusahaan multikompeni (uhuk)
sekali lagi apakah hidup ini layak kita jalani ?
apakah kita berani menyalakan api keberanian ini?, setidaknya satu kali dalam kehidupan ini dan menulis.