Mohon tunggu...
LINES
LINES Mohon Tunggu... Relawan - LDII News Network

Menulis adalah cara untuk berbagi perspektif. Saling menghargai adalah kunci untuk bertukar perspektif

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bangsa Samudera Itu Belum Hilang

25 September 2021   08:43 Diperbarui: 25 September 2021   08:52 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Siham Afatta*

Kita hidup di Indonesia, sebuah negara kepulauan terbesar di dunia. Jumlah pulaunya tercatat sebanyak 17.504 pulau, dengan total luas perairan 3.257.483 km dan luas daratan 1.922.570 km. Indonesia menjadi salah satu pusat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, baik yang bersumber dari ekosistem daratan maupun lautan.

Sebagai negeri yang berdaulat, kedaulatan maritim Indonesia hadir tidak seketika. Namun melalui proses panjang perjuangan para pendahulu, sehingga bangsa ini bisa merasakan, menerima manfaat, dan mengelola sumber daya dari kawasan pesisir, pulau, dan lautan Indonesia.  

Hari Maritim Indonesia bermula pada 1964. Kala itu, Presiden Sukarno mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 249/1964, yang menetapkan 23 September menjadi Hari Maritim Nasional (HMN). Penetapan itu setahun setelah Musyawarah Nasional (Munas) Maritim Ke-1 di Jakarta yang dilaksanakan pada tanggal yang sama pada 1963 .

Dalam pembukaan munas tersebut, Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, menyerukan: "Kembalilah menjadi bangsa samudera!". Dalam pidatonya, beliau mengingatkan kita untuk melihat sejarah, untuk berkaca pada zaman saat penduduk Nusantara adalah bangsa pelaut yang unggul dan tangguh.

Presiden Soekarno, mengutip Ir. Mutalib dan Kadirman, saat itu mengingatkan bahwa sebelum penjajah dari Eropa datang, karakter masyarakat pada masa keemasan Nusantara di bawah kerjaaan Sriwijaya dan Majapahit, merupakan "bangsa pelaut" dan  "bangsa bahari".  Ia mengajak bangsa Indonesia merestorasi memori kemaritiman, yang telah dihapus selama kurang lebih lima abad penjajahan bangsa Eropa (1512-1950).

Pidato beliau mengingatkan bahwa temuan bahasa, budaya, dan sejarah telah menjadi rekam jejak keunggulan pelaut Nusantara berabad lampau sebelum penjajah Eropa hadir. Ia berseru, "Dengan perahu bercadik, perahu bersayap itu, leluhur bangsa Indonesia, ... kita terbang dari satu pulau ke pulau lain!" Di masa itu, pelayaran pelaut Nusantara sudah memiliki bentang jelajah mulai dari Madagaskar (Afrika Timur), melewati kepulauan Indonesia, hingga pulau Paskah di kawasan Polinesia. 

Isi pidato Presiden Soekarno masih relevan hingga hari ini. Penegas bahwa upaya "nation building, nation re-building" pasca Kemerdekaan RI, negara dan bangsa perlu konsisten memperhatikan pembangunan kemaritiman dan kekokohan budaya bahari di masyarakat. Beliau berpesan, "Saudara-saudara, mengenai maritim, hayo banyak sekali soal-soal yang harus kita petjahkan, banyak sekali soal-soal yang harus kita betul-betul petjahkan agar supaya kita benar-benar bisa menjadi bangsa pelaut sebagai sedia kala." 

Deklarasi Juanda dan Negara Kepulauan

Tujuh tahun sebelum pidato Presiden Sukarno pada Munas Maritim ke-1, Perdana Menteri Indonesia saat itu Djuanda Kartawidjaja, mencetuskan Deklarasi Juanda tepatnya tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi tersebut menyatakan kepada dunia bahwa laut-laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah RI dan bagian dari laut Indonesia. Laut-laut antar-pulau itu milik Indonesia!

Deklarasi tersebut berdampak luar biasa terhadap perhitungan wilayah RI di masa itu, sehingga luasnya berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km menjadi 5.193.250 km dengan pengecualian Irian Jaya. Hasil lainnya adalah ditetapkannya garis batas maya yang mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut. 

Seusai Munas Maritim dilanjuti proses diplomasi panjang dan berat selama 25 tahun, membuahkan hasil ketika pada tahun 1982, Deklarasi Djuanda dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982).

Andaikan tidak ada deklarasi dan pengakuan tersebut, maka saat ini laut antar pulau adalah kawasan bebas untuk dilayari kapal negara lain. Betapa besar dampaknya bagi kedaulatan bangsa Indonesia, bagi kekayaan sumbedaya hayati dan nonhayati laut, bagi perjalanan dan transportasi antar-pulau kita, terhadap keamanan dan ketahanan negara kita, bagi keberagaman budaya kita!

Pada tahun 1985, Republik Indonesia menerbitkan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 dan menjadi hukum yang menyatakan Indonesia sebagai "Negara Kepulauan". Sebagai penduduk negara kepulauan, maka bangsa ini sejatinya harus menerima disebut sebagai bangsa maritim yang dituntut berbudaya bahari.

Kata "maritim" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai segala hal yang "berkenaan dengan laut". Maritim juga bisa diartikan sebagai segala hal "berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut". Sedangkan "budaya" sendiri bisa dimaknai sebagai pikiran, akal budi, adat istiadat, kebiasaan, pola hidup, cara hidup, dan bersifat lintas-generasi.

Karena Laut, Kebhinekaan Terajut

Hari Maritim Nasional juga mengajak bangsa Indonesia bersyukur bagaimana keberagaman, kebhinekaan, terbentuk di Nusantara. Perdagangan maritim internasional menjadi salah satu perantara yang besar penyebaran Islam dari Jazirah Arab memasuki kawasan timur dunia.

Sekitar abad ke-7 sampai 13 Masehi, pengetahuan navigasi yang luar biasa para pelaut Muslim, memungkinkan mereka hadir di Nusantara terlebih dahulu ketimbang bangsa-bangsa Eropa melalui Jalur Sutera Maritim. Jalur tersebut merupakan lalu lintas pelayaran yang dihubungkan pelabuhan-pelabuhan dari Jazirah Arab, Somalia, Mesir, termasuk Eropa, hingga sub-benua India, Tiongkok dan Asia Tenggara, hingga mencapai Indonesia.

Jalur Sutera Maritim bergeliat sekitar dua abad sebelum masehi hingga 15 abad setelah masehi. Luar biasa, sebuah lalu lintas pelayaran besar mengandalkan angin, tenaga lautan, dan keberadaan benda langit. Keterampilan itu jadi pertanda, paripurnanya intelejensi dan fisik manusia -- tanpa mesin, elektronik dan bahan bakar fosil. Wilayah nusantara Indonesia menjadi tujuan akhir pelayaran pelaut unggul dari berbagai bangsa.  

Kemutakhiran para pelaut Muslim memungkinkan pedagang dan perwakilan bangsa Arab bertamu ke kawasan Indonesia termasuk Filipina, Brunei, dan Malaysia. Mereka menjadi perantara hubungan perdagangan dan budaya antara kerjaaan di Asia Tenggara dan kesultanan-kesultanan di Arab. Rempah dan sutera menjadi komoditas utama perdagangan, termasuk kemenyan (benzoin) dan kapur barus sebagai zat eksotis dan bernilai tinggi bagi bangsa Arab.

Interaksi antar-bangsa tersebut berlangsung di kisaran abad ke-7 hingga 13, termasuk saat era keemasan kerajaan Sriwijaya (650--1377). Pada masa itu, Nusantara memiliki jaringan pelabuhan yang menghubungkan sentra dagang yang tersebar dari Sumatera dan sebagian Jawa, hingga Semenanjung Malaya, selatan Thailand dan Kamboja. 

Budaya bahari serta infrastruktur maritim di wilayah Nusantar yang kuat, menjadi gerbang kepercayaan para bangsa untuk berlabuh. Kendali perdagangan maritim internasional di Selat Malaka, Selat Sunda, dan Samudera Hindia ada di Nusantara. Perdagangan maritim Nusantara terus dipertahankan hingga masa kerajaan Majapahit (1293-1527) dengan konsep kenegaraannya yang menjadi asal kata  "Nusantara". Kontrol terhadap laut itu terus berlanjut, hingga berdirinya kerajaan Islam pada abad ke-14 hingga 18, semisal kerajaan Samudera Pasai (di Aceh, 1267- 1521), Malaka (di Selat Malaka, 1405-1511) dan Banten (1526-1813). 

Namun, 3,5 abad penjajahan Eropa (1512-1950) telah berdampak pada kurang lebih 12 generasi Nusantara, yang perlahan secara sadar dan tidak disadari menghapus memori kolektifnya, budaya baharinya, hingga literasi maritimnya. Pola hidup masyarakat, pola pembangunan bangsa, menjadi bergantung kuat pada daratan dalam budaya agraris. Laut kita punggungi, bahkan dicemari, dan jadi tempat pembuangan sampah terakhir.

Refleksi Diri di Buritan

Hari Maritim Nasional menjadi teguran rutin bagi bangsa Indonesia: sejauh apa hikmah dari pesisir, dari pulau dan dari laut telah kita apresiasi dalam pola dan cara hidup kita dalam berbangsa dan bernegara? Sejauh apa kita telah menyiapkan generasi yang mampu menggenggam erat amanat para pendahulu untuk menjaga pesisir, pulau dan laut kita?

Mengutip kembali seruan Presiden Jokowi di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, pada Selasa malam 22 Juli 2014, "Kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudera, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, memunggungi selat dan teluk!"

Selamat Hari Maritim Nasional ke-57, 23 September 2021. Yakin, Bangsa Samudera itu belum hilang.

*Penulis adalah anggota Departemen Lingkungan Hidup, IPTEK, dan Sumber Daya Alam (LISDAL) DPP LDII

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun