Mohon tunggu...
LINES
LINES Mohon Tunggu... Relawan - LDII News Network

Menulis adalah cara untuk berbagi perspektif. Saling menghargai adalah kunci untuk bertukar perspektif

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Hakteknas Seharusnya Mendorong Inovasi, Bukan Sekadar Seremoni

15 Agustus 2021   05:22 Diperbarui: 15 Agustus 2021   07:53 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Pahala Sibuea dan Sudarsono*

Selasa, 10 Agustus 1995. Angkasa Bandung tampak cerah. Dari hangar Bandara Husein Sastranegara, pesawat berbaling-baling yang dinamai N250 Gatotkaca keluar perlahan, lalu terbang. Penampakannya yang gagah itu mempesona semua orang, termasuk Presiden Soeharto dan Menristek BJ Habibie sebagai perancangnya.

Kisah penerbangan prototipe pesawat yang rancang bangunnya dikerjakan para anak bangsa itu, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas). Hari itu menjadi tonggak sejarah kebangkitan teknologi nasional, seturut Keppres RI No. 71 Tahun 1995.

Tujuan Hakteknas antara lain untuk menghargai keberhasilan putra-putri Indonesia dalam memanfaatkan, menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), serta untuk mendorong mereka untuk terus-menerus membangkitkan daya inovasi dan kreasi, guna kesejahteraan dan peradaban bangsa Indonesia. Pertanyaannya adalah, sudahkah tujuan Harteknas yang dicanangkan sejak tahun 1995 tersebut tercapai setelah lebih dari 25 tahun yang berlalu?

Peringatan Hakteknas tahun 2021 mengusung tema "Integrasi Riset untuk Indonesia Inovatif" dan subtema "Digital Green Blue Economy." Sebuah tema yang sangat bagus dan relevan dengan situasi saat ini dan perkembangan pada masa depan. Namun demikian, tema yang keren tersebut perlu diejawantahkan dalam bentuk nyata, yang mempunyai nilai tambah serta menyejahterakan rakyat dan bangsa Indonesia.

Presiden Jokowi telah mengutarakan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Climate Adaptation Summit (KTT CAS) 2021, terkait peringatan Hakteknas 2021 bahwa "Indonesia harus jadi produsen teknologi." Dan bukan hanya sebagai konsumen untuk produk asal luar negeri. Dengan menjadi produsen, maka nilai tambah yang didapatkan akan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sebaliknya, dengan menjadi pengguna, maka justru sumberdaya kita terkuras dan malah menyejahterakan bangsa lain. Dua hal tersebut tentu mempunyai makna yang sangat berbeda terkait dengan keberlanjutan dan kelestarian NKRI. Dengan menjadi produsen teknologi, akan memperkuat posisi tawar dan dapat menjadi pondasi eksistensi NKRI pada masa depan.

Masalah justru muncul dari bangsa Indonesia sendiri, sebagaimana disinyalir oleh Mendikbud Ristek Nadiem Makarim, terkait dengan perayaan Hakteknas. Ia menyatakan bahwa "Produk Indonesia belum dicintai" oleh rakyat Indonesia sendiri. Tidak dapat dipungkiri, bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang masih silau dengan segala hal yang sifatnya diimpor dari luar negeri, termasuk produk teknologi. Hal ini dapat dimengerti karena ketersediaan produk teknologi karya anak negeri masih sedikit, atau karya mereka masih belum dapat menjawab tantangan kebutuhan riil di lapangan.

Untuk itu, Hakteknas 2021 seharusnya dijadikan momentum bagi peneliti untuk meningkatkan kreativitasnya dalam menjawab permasalah riil pada masyarakat, guna mengembangkan kesejahteraan bangsa dan negara Republik Indonesia. Dari sisi pemerintah, cetak biru kebijakan penguatan sistem inovasi nasional yang sudah dibuat, perlu terus dikembangkan pada masa depan.  

Agar kesadaran dan tanggung jawab komponen bangsa dan negara untuk secara berkelanjutan melakukan inovasi dapat terus direalisasikan. Kegiatan yang riil dan membumi perlu terus dilakukan, serta tidak hanya sebatas seremonial, berbagai macam seminar, workshop, pameran, lomba dan pemberian penghargaan. Hal itu untuk mendorong iklim inovasi dan realisasi inovasi anak bangsa.

Masa pandemi Covid-19 menjadi tantangan yang sangat besar, namun memiliki hikmah berupa bermunculannya inovasi dan kreasi di bidang teknologi kesehatan. Pada bidang kesehatan ini banyak dihasilkan obat-obatan untuk pasien Covid-19, peralatan-peralatan diagnostik, ventilator dan vaksin merah putih. Inovasi dan kreasi bermunculan di kalangan para akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan Genose, ITB dengan Ventilator, vaksin merah putih dari Universitas Airlangga (Unair) yang masih dalam uji klinis dan berbagai teknologi terapan dan pelayanan yang dikembangkan oleh kerja sama antaruniversitas.

Potensi inovasi dan kreasi di bidang kesehatan sangat terbuka lebar. Menurut data Gabungan Alat Kesehatan Indonesia (Gakeslab), pada tahun 2020 impor alat kesehatan mencapai Rp18 triliun. Angka tersebut bila digabungkan dengan anggaran APBD dan BUMN rata-rata mencapai Rp50 triliun per tahun. Sementara Kementerian Kesehatan menyebut 97 persen obat-obatan masih impor, padahal Indonesia kaya dengan fitaparmaka, hasil laut yang belum tergali dan sumberdaya alam yang belum teroptimalkan untuk bahan obat-obatan.  Indonesia juga sangat kaya dengan tumbuhan dan hayati yang dapat dipergunakan untuk obat-obatan herbal. Berbagai Inovasi di bidang kesehatan perlu terus dikembangkan di Indonesia, tidak hanya untuk menjawab tantangan isu kesehatan pada masa pandemi Covid-19. Inovasi tersebut juga untuk menghadapi tantangan yang mungkin lebih berat pada masa yang akan datang.

Indonesia yang akan memasuki era bonus demografi pada tahun 2045 juga perlu disikapi dengan semangat inovasi teknologi. Potensi masalah terkait bonus demografi perlu dan hanya bisa dijawab dengan inovasi teknologi, sebagaimana harapan Presiden Jokowi dalam KTT CAS tahun 2021. Kegagalan dalam pengembangan inovasi teknologi menghadapi era bonus demografi berpotensi membalikkan nilai tambah, dan justru mengubahnya berbalik menjadi bencana demografi bagi Indonesia. Hal ini mengindikasikan pentingnya semangat Hakteknas 2021 dan mendorong meningkatnya semangat berinovasi, untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen teknologi.

LDII bersama warganya sebagai bagian dari bangsa dan negara Republik Indonesia sudah beperan aktif dan berusaha berkontribusi dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Melalui komitmen LDII dalam mengembangkan delapan klaster -- sebagaimana yang telah diperkuat kembali melalui Keputusan Hasil Munas IX LDII tahun 2021 -- menjadi salah satu bukti nyata sumbangan LDII dalam mendukung bangsa dan negara Indonesia. Delapan klaster tersebut adalah kebangsaan, keagamaan dan dakwah, pendidikan, ekonomi syariah, kesehatan dan herbal, ketahanan pangan dan lingkungan, energi baru dan terbarukan, dan teknologi digital.

Selain bidang kesehatan, Indonesia sangat memerlukan inovasi dan kreasi anak bangsa untuk mendukung bidang pertanian yang relevan dengan penyediaan pangan masa depan. Harapan untuk munculnya inovasi teknologi pada ranah hilirisasi hasil-hasil pertanian, sangat diperlukan saat ini dan pada masa yang akan datang.

Contoh kecil yang terjadi saat ini antara lain hilirisasi produk sawit dan umbi porang. Sebagai negara produsen terbesar produk sawit, Indonesia masih mengekspor produk sawit sebagai CPO (crude palm oil/minyak sawit mentah) dan kernel sawit. Di sisi lain, justru produk hilir olahan CPO dan kernel sawitlah yang sebetulnya mempunyai nilai tambah lebih besar dibandingkan CPO. Namun demikian, bangsa Indonesia tidak dapat memperoleh keuntungan dari hilirisasi produk sawit karena kurangnya inovasi teknologi hilirisasi CPO.

Contoh kecil lainnya adalah tanaman porang, yang sempat menarik perhatian karena mendapat perhatian khusus dari Presiden Jokowi. Dalam pengarahannya, Presiden Jokowi mengharapkan agar Indonesia tidak mengekspor umbi porang hanya dalam bentuk gelondongan kripik/chips porang saja. Presiden Jokowi berharap agar umbi porang dapat diekspor minimal dalam bentuk tepung porang sehingga memiliki nilai tambah yang lebih baik bagi petani produsen umbi porang. Umbi Porang dapat dijadikan sebagai beras shirataki yang sangat diminati. Namun untuk memproses umbi porang menjadi beras shirataki memerlukan teknologi hilir yang saat ini baru sebagian dapat dikuasai.

Dua contoh sederhana di bidang pangan tersebut seharusnya menjadi pemicu  untuk meningkatkan kreativitas dan daya inovasi, untuk mengembangkan nilai tambah dari produk-produk pertanian lokal agar bisa dipasarkan secara global. Inovasi di bidang hilirisasi produk pertanian seharusnya menjadi prioritas Indonesia pada masa yang akan datang.

Dengan semangat Hakteknas 2021 dan di dalam kondisi bangsa Indonesia masih menghadapi pandemi Covid 19  ini, mari kita Bersatu-padu dan bertekad bulat untuk terus berinovasi dan berkreasi menjawab tantangan bangsa dan negara ke depan. Peran aktif seluruh komponen bangsa untuk mengembang inovasi teknologi dan untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen teknologi akan menjamin Kelestarian NKRI. Dengan Hakteknas 2021, mari kita sukseskan dan cintai produk-produk buatan anak negeri. Selamat menyambut Hakteknas 2021.

* Para penulis adalah:

Pahala Sibuea Pemerhati Kebijakan Sawit Indonesia, Departemen Litbang, IPTEK, Sumberdaya Alam dan Lingkungan (LISDAL), DPP LDII

Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc, adalah Guru Besar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB dan Ketua dan Korbid Litbang, IPTEK, Sumberdaya Alam dan Lingkungan (LISDAL), DPP LDII

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun