Mohon tunggu...
LINES
LINES Mohon Tunggu... Relawan - LDII News Network

Menulis adalah cara untuk berbagi perspektif. Saling menghargai adalah kunci untuk bertukar perspektif

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Moderasi Beragama Merawat Keberagaman dan Menjaga Keagamaan

6 Agustus 2021   06:45 Diperbarui: 6 Agustus 2021   06:51 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi saat menemui para pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Istana Bogor, Senin (18/3/2019). (Foto: Jay/Humas Setkab) 

Oleh Ari Sriyanto

Indonesia adalah negara majemuk yang terdiri dari suku, ras dan agama, yang berbeda-beda sehingga diperlukan toleransi dalam memahami keberagaman. Oleh sebab itu moderasi beragama sangat tepat sekali diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam kondisi masyarakat yang multikultural. Moderasi beragama merupakan pemikiran yang berkebalikan dengan fundamentalisme yang kerap kaku dan tidak toleran. Untuk menerapkan moderasi beragama dalam masyarakat multikultural memerlukan pendekatan sosio-religius dalam beragama dan bernegara.

Apalagi belakangan ini, keragaman Indonesia sedang diuji. Sikap antikeberagamaan yang ekstrem diekspresikan oleh sekelompok orang atas nama agama, tidak hanya di media sosial tapi juga di jalanan. Fenomena tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan dunia sedang menghadapi tantangan adanya kelompok masyarakat yang bersikap eksklusif, eskplosif, serta intoleran dengan mengatasnamakan agama. 

Moderasi beragama menjadi arus utama dalam corak keberagamaan masyarakat Indonesia. Argumentasi yang dibangun adalah beragama secara moderat sudah menjadi karakteristik umat beragama di Indonesia, dan lebih cocok untuk kultur masyarakat yang majemuk. Beragama secara moderat adalah model beragama yang telah lama dipraktikkan dan tetap diperlukan pada era sekarang.

Dalam  konteks  ini,  narasi  pentingnya  jalan  tengah  (the middle path) dalam beragama, sesungguhnya memiliki nilai urgensinya untuk terus-menerus digaungkan oleh tokoh agama, akademisi kampus yang memiliki otoritas, dan melalui saluran berbagai media. Penggaungan narasi semacam itu khususnya untuk memberikan pendidikan kepada publik, bahwa bersikap ekstrem dalam beragama, pada sisi manapun, akan selalu menimbulkan benturan.

Karena moderasi ini menekankan pada sikap, maka bentuk moderasi ini pun bisa berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya, karena pihak-pihak yang berhadapan dan persoalan-persoalan yang dihadapi tidak sama antara satu negara dengan negara lainnya. Di negara-negara mayoritas muslim, sikap moderasi itu minimal meliputi: pengakuan atas keberadaan pihak lain, pemilikan sikap toleran, penghormatan atas perbedaan pendapat, dan tidak memaksakan kehendak dengan cara kekerasan. Hal ini berdasarkan pada ayat-ayat Al-Quran, antara lain menghargai kemajemukan dan kemauan berinteraksi (QS. al-Hujurat:13), ekspresi agama dengan bijaksana dan santun (QS. al-Nahl: 125), prinsip kemudahan sesuai kemampuan (QS. al-Baqarah: 185, al-Baqarah: 286 dan QS. al-Taghabun: 16).

Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik beragama ini, niscaya akan menghindarkan kita dari sikap ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama. Seperti telah diisyaratkan sebelumnya, moderasi beragama merupakan solusi atas hadirnya dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultrakonservatif atau ekstrem kanan di satu sisi, dan liberal atau ekstrem kiri di sisi lain.

Pilihan pada moderasi dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan pilihan, melainkan keharusan.

Strategi dakwah yang baik adalah dakwah yang senantiasa memerhatikan ketepatan sasaran dakwah atau mitra dakwah. Sangat penting bagi seorang da'i mengetahui secara baik masyarakat sebagai sasaran dakwah, baik dari aspek budaya, adat istiadat, pengetahuan dan bahkan aspek ekonomi. Tiap kondisi tersebut mengharuskan strategi khusus yang sesuai dengan kondisinya masing-masing.

Moderasi Beragama pada Era Internet

Perkembangan teknologi komunikasi telah mengubah cara orang berkomunikasi. Saat ini, hampir setiap orang menggunakan internet dalam mengirim, mencari, dan membaca informasi.Dalam berinteraksi pun kebanyakan melalui media sosial dibanding komunikasi secara langsung. Hal ini terjadi karena dipengaruhi beberapa faktor, antara lain pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, juga kecenderungan masyarakat milenial yang sangat bergantung pada media.

Menjawab maraknya berita hoax yang menimbulkan ketidak rukunan umat beragama akhir-akhir ini, maka menurut kami moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Moderasi merupakan kebajikan yang mendorong terciptanya harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan secara personal, keluarga, dan masyarakat.

Moderasi beragama, yang dalam Islam disebut wasathiyyah, merupakan proses meyakini, memahami dan mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, yang akan menghasilkan cara pandang, sikap, dan perilaku yang selalu mengambil posisi jalan tengah di antara dua hal, atau ekstremitas. Dua hal di sini adalah antara jasmani dan rohani, antara teks dan konteks, antara idealitas dan kenyataan, antara hak dan kewajiban, antara orientasi keagamaan dan orientasi kebangsaan, antara kepentingan individual dan kemaslahatan umat atau bangsa, serta keseimbangan antara masa lalu dan masa depan. secara empiris, moderasi beragama dapat diukur dari empat indikator.

Adapun indikator yang pertama adalah toleransi. Adalah sikap dan perilaku seseorang yang menerima, menghargai keberadaan orang lain dan tidak mengganggu mereka, termasuk hak untuk berkeyakinan dan mengekspresikan keyakinan agama mereka, meskipun keyakinan mereka berbeda dengan keyakinan dirinya. 

Kedua, anti kekerasan. Moderasi beragama tidak membenarkan tindak kekerasan, termasuk penggunaan cara-cara kekerasan atas nama agama untuk melakukan perubahan, baik kekerasan verbal maupun kekerasan fisik. Lalu yang ketiga, komitmen kebangsaan. Terutama berbentuk penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara, UUD 1945 sebagai konstitusi, dan NKRI sebagai pilihan bentuk Negara Indonesia. Kemudian yang keempat, pemahaman dan perilaku beragama yang akomodatif terhadap budaya lokal atau konteks Indonesia yang multikultural dan multiagama.

Oleh karena itu, peran ormas dan segenap komponen bangsa perlu didorong, untuk dapat meningkatkan penyebarluasan moderasi beragama di kalangan umat. Sehingga dapat mencegah konflik dan radikalisme beragama dalam kerangka kerukunan umat beragama. Harapannya, para tokoh agama mampu menjadi jembatan strategis bagi umat untuk menggerakkan moderasi beragama, baik dalam keyakinan dan pemahaman keagamaan maupun tindakan konkret dalam melakukan pencegahan, mediasi, dan penyelesaian konflik antarumat beragama.

Penulis adalah Ketua DPW LDII Bangka Belitung dan Sekretaris MUI Provinsi Bangka Belitung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun