Oleh Lindung Silaban
"Mulutmu adalah harimau mu," ucapku berusaha menenangkan siswa kelas I E ,8 tahun lalu. Sontak para siswa bersorak," Haaaaaa..... Mulutmu adalah harimau mu? Harimau?"
Aku terdiam sejenak. Malu dan bingung. Ternyata ucapanku salah dan tak mampu mentertibkan mereka yang sedang ribut antah berantah.
Itu pengalaman 8 tahun silam, saat aku belum diwisuda dari kampus UNIMED. Masih berstatus telah menyelesaikan studi S-1, tanpa izazah. Tentu sangat minim pengalaman mengajar pada siswa sekolah dasar, terlebih diberikan jam mengajar untuk kelas rendah.
Sebenarnya aku hampir mengundurkan diri dari sekolah SD Swasta Methodis-2 Medan itu. Karena sulit bagiku beradaptasi dengan anak-anak kecil. Aku merasa tak mampu menguasai kelas. Tidak sanggup menyesuaikan diri.
Namun karena pada saat itu aku butuh uang untuk biaya hidup dan membantu biaya kuliah adik, dengan terpaksa aku melanjutkan mengajar di sekolah itu.
Berulang kali aku gagal menyampaikan materi. Setiap ruang kelas bagai momok yang menakutkan dan membosankan bagiku.
Tiga bulan pertama, rasanya tubuhku benar-benar lelah. Pekerjaan itu cukup membosankan. Padahal aku seorang guru olahraga. Mata pelajaranku favorit dan menyenangkan. Tetapi, kenapa justru aku sendiri tak bahagia?
Setelah satu semester berlalu, kucoba merefleksikan proses pembelajaran. Berdiskusi dengan guru-guru senior dan memperbanyak membaca buku.
Pelan tapi pasti, keadaan berubah. Aku mengalami banyak perkembangan dalam menguasai kelas. Aku menyadari ilmu yang selama empat tahun dipelajari ternyata tak cukup sebagai modal mengajar.
Ternyata guru yang paling jitu dalam mengajar adalah pengalaman dan kemauan belajar. (*)
Selamat hari guru buat kita semua. Terkhusus buat para guru yang terlebih dulu mengajariku banyak hal. Kalian hebat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H