Menurut data Climate Watch tahun 2019, Indonesia menempati peringkat ke-8 dalam daftar 10 negara penghasil emisi Gas Rumah Kaca terbesar di dunia, dengan total emisi mencapai 1.002,4 metrik ton. Angka tersebut sebagian besar disumbang oleh sektor listrik dan panas berbasis bahan bakar fosil, tanpa memperhitungkan emisi dari sektor kehutanan. Situasi ini menyoroti urgensi aksi lingkungan yang lebih masif di Indonesia terutama di sektor korporasi.
Ghivarly Addarquthni, ESG Specialist, East Ventures dalam webinar online Green Skilling bertajuk "Simplifying Greenhouse Gas (GHG) Calculations and Reporting for Finance Professionals" menekankan pentingnya langkah dekarbonisasi yang melibatkan berbagai sektor, termasuk upaya nyata dari perusahaan.
"Gimana cara kita mengurangi emisi? Kita kan enggak pernah tahu gimana caranya mengurangi emisi? Tanpa tahu sumber-sumber emisi kita dari mana aja sih? Kalau kita enggak kenal emisinya kita sendiri, gimana cara kita mengurangi?" ujar Ghivarly dalam paparannya yang disampaikan melalui Zoom.
Cara Menghitung Emisi Karbon? Apa Itu Scope 1 2 3 Emissions?
Upaya dekarbonisasi utamanya oleh perusahaan menjadi krusial mengingat selaras dengan komitmen global dalam Perjanjian Paris 2015 untuk menahan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. Adapun, kategori emisi GRK yang diakui secara global antara lain karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan juga nitrogen trifluoride (NF3).
Dalam webinar ini, Ghivarly mengupas tuntas mengenai GHG protocol, sebuah standar global yang menjadi panduan utama bagi perusahaan untuk mengukur dan melaporkan emisi gas rumah kaca.
Standar ini membagi emisi menjadi tiga kategori atau scope 1 2 3 emissions yang masing-masing mencakup sumber emisi yang berbeda dan relevan dengan aktivitas perusahaan.
Scope 1: Mencakup emisi langsung dari aktivitas perusahaan, seperti fasilitas dan transportasi.
"Sumber emisi atau scope 1 ini datang dari direct company-nya langsung. Jadi, perusahaan-perusahaan, yang bertanggung jawab secara penuh atas keluarnya emisi ini, nah ini datangnya dari mana saja? Pertama datang dari fasilitas itu sendiri baik itu dari kantor, baik itu dari pabrik yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan, lalu juga dari company vehicle misal mobil dinas yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan sendiri. Jadi, bensin atau mungkin diesel atau bahan bakar lainnya yang ketika digunakan atau dibakar di dalam mesin tersebut yang akan menghasilkan emisi tersebut,"Â terang Ghivarly sambil menekankan pentingnya tanggung jawab perusahaan atas emisi yang dihasilkan.Â
Scope 2: Mencakup emisi dari energi yang digunakan oleh perusahaan.
"Scope 2 atau indirect emission yang datang dari energy, misalnya pembelian listrik, pemakaian listrik untuk kantor, fasilitas-fasilitas perusahaan lain juga seperti cooling system, tapi fokusnya biasanya perusahaan yang non manufaktur atau yang nggak punya pabrik, mereka kan tetap butuh listrik juga dari PLN ,"Â sambung Ghivarly.
Scope 3 mencakup emisi tidak langsung yang berasal dari rantai nilai perusahaan, termasuk aktivitas hulu dan hilir.
"Scope 3, scope ini cukup luas banget karena mencakup value chain dan ada dua value chain yang dimaksud, value chain di awal yaitu bagian supply chain misalnya ketika mempunyai bahan baku dan raw material yang harus dibeli dari perusahaan lain, nah itu emisi untuk men-procure atau mengadakan barang tersebut dihitung emisinya berapa, dan juga value chain yang berasal dari downstream atau hilir perusahaan tersebut. Misalkan produksi suatu barang atau suatu jasa nah ketika barang tersebut digunakan oleh end user nantinya, emisi yang dikeluarkan end user itu perlu untuk di-account di dalam scope 3 emisi perusahaan tersebut," ujar lebih lanjut Ghivarly lebih rinci.