Saya memisahkan lapis demi lapis, lalu sibuk menganalisa apakah rasanya akan berbeda, seperti warnanya yang juga berbeda. Itulah kebiasaan saya dari kecil hingga sekarang. Walaupun saya tau, rasanya akan sama saja, ntah mengapa saya masih berharap saya bisa menemukan rasa lain dalam lapisannya yang berbeda.
Kue lapis tepung beras ini dibuat dengan penuh ketelatenan. Saya pernah melihat ibu kos saya di Jogja (dulu) membuatnya. Lapisan demi lapisan ditumpangkan satu demi satu. Dan setelah semua lapisan tersusun, masih harus dikukus lagi selama kurang lebih 30 menit.
Karena proses pembuatannya yang tak sebentar, saya makin tidak rela menghabiskannya dalam sekejap. Jadilah saya memelihara kebiasaan saya menyantap kue lapis itu selapis demi selapis. Kue lapis ini juga kerap menjadi hidangan dalam acara-acara penting keluarga atau perayaan-perayaan di Indonesia, karena makna yang terkandung di dalamnya. Kue lapis yang lengket dan berlapis-lapis, diharapkan menjaga kelekatan persaudaraan antar manusia, dan tetap diberikan berkat, rejeki, yang berlapis-lapis, sebanyak lapisan kue itu (konon, semakin banyak lapisannya, semakin banyak rejekinya). Percaya atau tidak, terserah anda. Inilah Indonesia. Selalu ada makna di balik semua yang ada, bahkan dibalik sepotong kue lapis tepung beras.
Kue yang sangat Indonesia ini mungkin tidak akan pernah menjadi sepopuler rainbow cake yang memesona itu. Namun kue lapis ini begitu melegenda, telah dinikmati turun temurun, dari masa ke masa. Biarpun tidak populer, tapi tetap menjadi jajanan yang paling saya cari di pasar selain lemper. Apalagi dinikmati dengan secangkir teh hangat sambil menemani anak-anak bermain sepeda di sore hari. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H