Self-love mengajarkan kita menerima diri sendiri, tetapi tidak pernah menjadi alasan untuk mengabaikan tanggung jawab sosial
Saat ini, istilah self-love atau mencintai diri sendiri telah menjadi salah satu topik yang hangat diperbincangkan, terutama di kalangan generasi muda. Banyak orang yang mempromosikan pentingnya self-love sebagai bentuk penghargaan terhadap diri sendiri. Namun, di tengah maraknya kampanye self-love, muncul pertanyaan yang tidak kalah penting: kapan self-love berubah menjadi egoisme? Dimana batasannya? Apakah semua yang dilakukan atas nama self-love selalu benar?
Self-love pada dasarnya adalah kemampuan seseorang untuk menghargai dirinya sendiri, memahami kebutuhan pribadinya, dan merawat kesehatan mental maupun fisiknya. Konsep ini menjadi relevan di era modern, di mana banyak individu terjebak dalam tekanan sosial dan ekspektasi yang tinggi. Di sisi lain, egoisme adalah sikap yang menempatkan kepentingan pribadi di atas segalanya, sering kali tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain.
Self-Love dalam Konteks Kehidupan Mahasiswa
Dalam dunia perkuliahan, konsep self-love sering menjadi dasar bagi mahasiswa untuk menjaga keseimbangan antara akademik dan kehidupan pribadi. Contohnya, seorang mahasiswa yang menolak untuk mengikuti rapat organisasi karena merasa terlalu lelah atau stres mungkin melakukannya demi menjaga kesehatan mentalnya. Dalam situasi ini, keputusan tersebut bisa dikategorikan sebagai self-love karena mahasiswa tersebut memahami batasan fisik dan mentalnya.
Namun, ada kalanya alasan "self-love" digunakan untuk menghindari tanggung jawab. Misalnya, ketika seseorang memilih untuk tidak menyelesaikan tugas kelompok dengan alasan "sedang ingin fokus pada diri sendiri," padahal hal itu merugikan anggota kelompok lainnya. Inilah momen ketika self-love bergeser menjadi egoisme.
Kasus: Konflik dalam Kelompok Tugas
Salah satu contoh nyata yang sering terjadi di kalangan mahasiswa adalah konflik dalam kelompok tugas. Bayangkan sebuah kelompok yang sedang menyelesaikan proyek besar. Salah satu anggotanya memutuskan untuk tidak hadir dalam pertemuan dengan alasan "ingin me-time" atau "fokus pada self-healing." Meskipun alasan tersebut dapat dimengerti, anggota kelompok lainnya mungkin merasa terbebani karena harus menanggung pekerjaan tambahan.
Dalam situasi seperti ini, penting untuk mengevaluasi apakah tindakan tersebut benar-benar self-love atau sekadar alasan untuk menghindari tanggung jawab. Jika seseorang menggunakan self-love untuk membenarkan perilaku yang merugikan orang lain, maka hal itu lebih mendekati egoisme daripada self-love.
Batas Antara Self-Love dan Egoisme