Kita tidak dapat memilih di mana kita dilahirkan...
Kita tidak dapat memilih oleh orang tua dengan etnis tertentu...
Kita hanya dapat menjalaninya, sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh Sang Pencipta...
Tahun ini 100% Manusia Film Festival 2024 kembali dihelat secara akbar di beberapa kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung dan Yogyakarta). Festival film terbesar ini menayangkan 88 film dan 11 acara menarik yang dapat diikuti oleh seluruh masyarakat.
Kebetulan banget saya ikutan Opening Ceremony tanggal 30 September 2024 di Erasmus Huis. Pada Opening Ceremony ini ada kata sambutan dari Adriaan Palm selaku Deputy Head of Mission Embassy of The Kingdom of The Netherlands, Bapak Nujul Kristanto (Lead of Film Literature and Appreciation Team) dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI, H.E Francisco de Asis Aguilera (Ambassador of Spain to Indonesia), Geofanny Tambunan (Festival Ambassador) dan Kurnia Dwijayanto selaku Director 100% Manusia Film Festival 2024.
Setelah acara sambutan, ini dia yang ditunggu film pembuka yang membawa hawa "magis" bagi saya. Sedikit sinopsis boleh ya. Film ini menceritakan dua anak perempuan dari etnis China yang tinggal di Spanyol. Anak perempuan pertama namanya Xiang diadopsi dari keluarganya sejak ia bayi. Adanya kesulitan ekonomi membuat ibu Xiang memutuskan untuk memberikan anaknya ke pasangan suami istri asal Spanyol. Anak perempuan kedua namanya Lucia, kebetulan sudah lama tinggal dan besar di Spanyol bersama dengan ayah, ibu serta kakak perempuannya.
Walaupun Xiang dan Lucia sama-sama beretnis China, Lucia masih kental dengan kebiasaan China karena kedua orang tuanya justru sangat kesulitan berbahasa Spanyol dan bahkan buta aksara. Ibunya Lucia hanya bisa bahasa sehari-hari yang sangat minim, itupun hanya untuk modal berjualan (mereka memiliki usaha toserba sederhana).
Xiang sendiri merasa dirinya sudah bukan etnis China, karena dibesarkan di lingkungan murni Spanyol, bahkan sama sekali tidak bisa berbahasa mandarin. Xiang yang mengalami krisis identitas seringkali murung di sekolah dan tidak punya teman. Sampai suatu hari Xiang dan Lucia bersekolah di tempat dan kelas yang sama.
Kisah antara Xiang dan Lucia tergambar dengan apik dalam film Chinas ini. Sebagai penonton, kita disuguhkan dengan adanya realita kehidupan sebagai minoritas di tanah etnis lain tidaklah mudah. Ada diskriminasi yang terjadi, ada perlakuan yang tidak menyenangkan juga ditampilkan dalam film ini. Namun, tidak jarang juga ditemui ada penduduk asli yang bersikap baik dan juga bahkan berinisiatif memberikan hadiah untuk Lucia di hari Natal, di saat ibunya sendiri tidak memberikan apapun.
Melalui film Chinas, kita jadi belajar makna toleransi. Saya jadi berefleksi lebih dalam. Apakah saya juga pernah memperlakukan orang lain yang mungkin minoritas dengan perbuatan atau perkataan yang tidak menyenangkan? Apakah saya juga pernah secara tidak sengaja merendahkan orang lain yang "berbeda" dari saya? Apalagi kita hidup di Indonesia dengan etnis yang sangat beragam mulai dari sabang sampai Merauke.
Toleransi menjadi kata yang indah jika dijalankan. Karena dari film ini, ketika toleransi tercipta, maka akan muncul harmonisasi, kerukunan dan juga kebahagiaan. Kita tidak bisa memilih etnis apa saat kita dilahirkan, oleh karena itu, jika semua bisa bersahabat dengan etnis apapun, maka perdamaian dunia akan tercipta.