Euforia festival film Eropa pada kegiatan Europe on Screen 2018 boleh saja usai. Festival film Eropa yang digelar pada tanggal 3-12 Mei 2018 ini membuat saya gagal "move on". Dari total 10 hari penyelenggaraan, saya berhasil menonton 11 film di 4 lokasi plus 1 lokasi tambahan untuk undangan wawancara.Â
Saya dan rekan saya Noval Kurniadi merasa beruntung karena berkesempatan untuk mewakili Komik Kompasiana sebagai media partner Europe on Screen (EOS). Kami mendapatkan jadwal interview dengan director film dokumenter dari Denmark dan CEO perusahaan film animasi dari Irlandia.
Ceritanya kami berbagi tugas nih, kebetulan Noval berhalangan untuk hadir saat jadwal wawancara (9 Mei 2018) dengan director film dokumenter Denmark yang tak lain dan tak bukan adalah Andreas Johnsen. Jadilah saya sendirian meluncur ke lokasi wawancara di kekini yang lokasinya hanya 5 menit saja dari kantor saya di Salemba.
Saya berusaha untuk "kepo" dulu dengan bang Andreas Johnsen ini sebelum melakukan wawancara. Beberapa informasi mengenai bang Andreas rupanya masih terlalu singkat dan saya masih banyak penasaran dengan director film dokumenter berdarah Denmark ini.
Pertemuan dimulai dengan topik "Bromo"
Obrolan pertama rupanya bukan menyangkut dirinya malahan Bang Andreas bertanya mengenai apakah saya pernah ke gunung Bromo? Rupanya Bang Andreas sudah menyusun rencana perjalanan ke Bromo dan pulau Gili untuk beberapa hari ke depan.Â
Obrolan seputar kapan saya ke Bromo, waktu terbaik untuk mendaki Bromo sampai bagaimana pemandangan di sana membuat kami mengobrol layaknya tour guide dan turis. Dari sinilah rupanya kami menjadi tidak saling canggung dan terlalu formal saat berkomunikasi meskipun salah fokus.
Saatnya fokus ke topik utama: Bugs!
Setelah sekitar 5 menit mengobrol mengenai Bromo dan keindahannya, bahkan juga tentang latar belakang saya. Ups! Saya berpikir keras ini siapa yang diwawancara dan mewawancara yak kok malahan terbalik, akhirnya saya berhasil menggiring Bang Andreas ke jalur wawancara yang benar sesuai tujuan utama yaitu tentang film yang ia garap.Â
Saya kemudian bertanya mengenai film Bugs yang kebetulan menjadi salah satu film dokumenter yang ditayangkan tiga kali dengan jadwal 8, 10 dan 11 Mei 2018 di UMN, GoetheHaus dan Kineforum selama event Europe on Screen 2018.Â
Sedikit info mengenai film Bugs ini adalah film dokumenter ini bercerita mengenai para peneliti dan juru masak dari Nordic Food Lab yang ditugaskan untuk berkeliling dunia untuk mencari, memasak, menernak dan mencicipi serangga. Wow, apakah terbayang di benak kalian bagaimana rasanya makan serangga? Mulai dari larva (termites), semut, belalang, ulat, belatung dan masih banyak serangga unik yang mereka cicipi.
Ketika saya tanyakan serangga mana yang menjadi favoritnya setelah berkeliling dari satu Negara ke Negara lain, ia menjawab "I like queen of termites, so juicy, big and fat" (Saya suka larva ratu karena rasanya juicy, besar dan berlemak).Â
Pikiran saya amburadul seketika membayangkan makan larva. Saya penasaran dengan bagaimana dengan cara memasaknya sehingga membuat rasanya menjadi enak seperti yang ia deskripsikan.
Bang Andreas menuturkan bahwa cara memasak termites tidaklah sulit, cukup menggorengnya tanpa minyak di teflon, maka lemaknya akan berfungsi sebagai minyak alami untuk menggoreng dan harumnya konon akan sangat menggoda selera iman.Â
Director film Bugs ini menceritakan bagaimana ia menggarap film ini selama 3 tahun lamanya, berkeliling ke beberapa Negara dan menikmati saat berkomunikasi dan memasak bersama masyarakat lokal di sana.
Makan serangga BUKAN untuk menyelamatkan dunia
Ada keterangan tertulis bahwa apakah dengan makan serangga dapat membantu menyelamatkan dunia? Bang Andreas kemudian menghela nafas panjang, dan menjelaskan bahwa bukan itu tujuan makan serangga.
Saya kemudian diminta untuk datang ke pemutaran film Bugs pada tanggal 10 Mei 2018 di GoetheHaus untuk menyaksikan secara langsung dan mencari tahu lebih dalam mengenai makna film dokumenter yang ia buat. Bang Andreas sangat menekankan saya untuk hadir, baiklah tantangan dimulai.Â
Mba Putri selaku Ketua Panitia EOS juga mengamini dengan memberikan saya undangan khusus media tanpa registrasi. Wow, ini saya wajib datang nih!
Tantangan menonton film Bugs: saya suka, filmnya luar biasa!
Tanggal 10 Mei 2018, seperti yang telah dijanjikan sebelumnya saya datang ke GoetheHaus, menonton dan mencoba memahami makna film Bugs yang berdurasi sekiar 74 menit ini.
Saya kemudian sangat menikmati film ini, sungguh ini film yang luar biasa! Saya terkagum-kagum, bagaimana para tim peneliti dan juru masak Nordic Food Lab ini benar-benar totalitas! Mereka datang ke lokasi serangga, menemukan sarang, mengambil sampel dan memasak serangga dengan teknik resep masyarakat lokal, tidak hanya itu mereka juga mencoba untuk membuat modifikasi resep serangga ini menjadi makanan kelas atas, wow!
Beberapa Negara yang saya ingat adalah di Kenya, serangga sejenis jangkrik dijadikan biscuit dan keripik untuk dimakan dan kaya akan zat zink yang diperlukan bagi warga di sana untuk pemenuhan mineral.
Sementara itu di Belanda, beberapa serangga digunakan sebagai alternatif sumber protein yang diolah menjadi tepung. Saya juga melihat industri serangga memproduksi serangga dalam jumlah besar dan banyak jenisnya untuk dikirim ke berbagai kota dan Negara.Â
Tim Nordic Food rupanya khawatir akan hal tersebut karena jumlah serangga yang dijadikan dalam mata rantai perdagangan diperlukan dalam jumlah yang banyak untuk memenuhi kebutuhan konsumen baik personal, maupun di restoran.
Mereka menyayangkan hal ini karena akan berdampak ke emisi "food print" yang besar dan keberlangsungan serangga itu sendiri. Mereka memang menunjukan bahwa makan serangga itu asik dan mempunyai nilai kesehatan, namun mereka tidak menyarankan produksi besar-besaran untuk hal tersebut.Â
Tim Nordic Food Lab hanya ingin masyarakat lokal yang memiliki sumber daya serangga dapat memanfaatkan dengan baik sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri, terutama bagi kawasan seperti Afrika yang sulit untuk mendapatkan sumber protein hewani. Wah, sungguh keren deh filosofinya film ini! Buat saya nilainya 9 dari 10.
Diam-diam saya bersyukur karena diminta langsung untuk menonton Bugs, Bang Andreas pun juga hadir saat pemutaran dan ada sesi tanya-jawab dengan penonton yang membuat saya makin memahami "jiwa" film ini.
Sedikit "bocoran" mengenai "next project" Bang Andreas
Rupanya sosok ayah pemain Band Metallica ini berhasil mencuri perhatian Bang Andreas karena sangat menginspirasi, banyak karyanya yang terbilang "jenius" walaupun usianya saat ini sudah 90 tahun! Wah, kami tunggu ya Bang filmnya, semoga lancar dalam proses pembuatannya. Amin!
Pertemuan dan wawancara dengan Bang Andreas Johnsen membuat saya merasa takjub. Ini pertama kalinya saya mewawancarai seorang director film dokumenter yang karyanya sudah banyak sekali dan mendapatkan penghargaan.
Film Bugs ini sudah tayang sejak tahun 2016 dan mendapatkan beberapa nominasi unuk Best Documentary Feature di Tribeca Film Festival 2016, Best Documentary Feature di Edinburgh International Film Festival tahun 2016 dan Best Film di Cleveland International Film Festival 2017. Adapun karya pria yang lahir di Copenhagen, Denmark 43 tahun silam ini yang juga tak kalah "hits" antara lain: Ai Weiwei The Fake Case (2013), Kidd Life (2012) dan masih banyak lainnya.
Akhir kata kami Komik Kompasiana mengucapkan terima kasih banyak untuk Mba Putri dan segenap panitia Europe on Screen 2018 untuk kesempatan yang luar biasa ini. Kami tunggu Europe on Screen tahun 2019 ya!
Salam Komik!
Bagi kalian yang "kepo" boleh ya diintip trailer Bugs di bawah ini:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H