Mohon tunggu...
Linda Erlina
Linda Erlina Mohon Tunggu... Dosen - Blogger and Academician

Seorang yang suka menonton film apa saja apalagi yang antimainstrim.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Jelajah Cikini-Menteng: Napak Tilas Warisan Masa Kolonial

26 Juni 2017   04:41 Diperbarui: 26 Juni 2017   09:33 2653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Hermitage Hotel (Sumber: Dokpri)

RSUP Dr Cipto Mangunkusumo (Sumber: exchange.ifmsa.org)
RSUP Dr Cipto Mangunkusumo (Sumber: exchange.ifmsa.org)
Ini dia satu lagi gedung karya jenius Von Essen. Mulanya rumah sakit ini bernama Centrale Burgerlijke Ziekenhuis yang berdiri tahun 1919. Kompleks kesehatan dimulai dari RSCM, Lembaga Eijkman dan FKUI disebut “Weltevreden” yang merujuk pada daerah Jakarta Pusat spesifik pada Lapangan Banteng, Monas, Menteng dan Cikini pada jaman kolonial. Seperti kedua gedung rancangan sebelumnya (Lembaga Eijkman dan FKUI), gedung RSCM pun memiliki gaya arsitektur yang khas dengan langit-langit tinggi yang hingga saat ini masih terjaga dengan baik. RSCM merupakan rumah sakit pendidikan FKUI, sehingga kedua bangunan ini terkoneksi pada satu kawasan.

4. Hotel The Hermitage Menteng

The Hermitage Hotel (Sumber: Dokpri)
The Hermitage Hotel (Sumber: Dokpri)
Kali ini saya secara kebetulan bisa masuk ke sini karena ada “Tugas Negara” dari kampus. Saya diminta untuk menemani salah satu Profesor tamu yang berasal dari Erasmus Medical Center, Rotterdam, Belanda yang bernama Prof. Henri Verbrugh. Tanggal 23 Juni 2017, rombongan FKUI yang terdiri dari Dekan, wakil dekan dan direktur IMERI mengundang Profesor tersebut untuk makan malam di La Venue, Hermitage. Jadilah saya ikut juga, hehehe lumayan rezeki anak sholehah. Pertama kali masuk sudah terlihat bahwa ini bekas rumah peninggalan Belanda. Menurut Prof. Henri Verbrugh, kesan klasik yang “rumah Belanda banget” terasa sekali loh. 

Menariknya, petugas pintu masuknya pun berpakaian layaknya pejuang pada jaman merebut kemerdekaan, dengan pakaian kemeja khas safari empat saku, peci dan sepatu boot yang mengingatkan saya pada pakaian ala Presiden Soekarno. Makanan dan minuman yang disajikan di sini diutamakan menu asli Indonesia dengan konsep buffet all you can eat. Desain dan tata ruangnya membuat saya jatuh hati karena masih kental dengan budaya kolonial. 

Desain Interior di The Hermitage (Sumber: Dokpri)
Desain Interior di The Hermitage (Sumber: Dokpri)
Atap dan tembok ruangan yang tinggi yang khas, pintu dan jendela kayu, ruangan bersekat-sekat dan lorong membuat saya merasa berada di dimensi waktu yang berbeda. Foto-foto bangunan awal terpasang di beberapa sudut, mewakili kepingan kenangan masa lampau. Di tengah bangunan terdapat peta Menteng lengkap dengan legendanya. Gedung ini dikelola oleh operator Hotel GLA (Paris) dan berafiliasi dengan The Leading Hotels of The World (LHW) di New York. 

Peta Menteng (Sumber: Dokpri)
Peta Menteng (Sumber: Dokpri)
Berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari National Geographic Indonesia, gedung ini mulanya adalah sebuah kantor telekomunikasi Hindia Belanda “Telefoongebouw” yang didirikan pada tahun 1923 dengan langgam Art Deco. Gedung ini mengalami beberapa kali transformasi fungsi, antara lain pernah menjadi kantor Bung Karno, kantor departemen pendidikan dan bahkan menjadi kampus. 

suasana nyaman meeting point Hermitage Hotel (Sumber: Dokpri)
suasana nyaman meeting point Hermitage Hotel (Sumber: Dokpri)
Penataan ruangan menjadi sorotan utama saya, klasik dan sungguh nyaman berada di sana. Desain interior dipadukan dengan arsitek gedung menambah syahdu suasana berkunjung di The Hermitage.

5. Pasar Antik Jalan Surabaya

Toko-Toko Barang Antik di Pasar Antik Jalan Surabaya (Sumber: Dokpri)
Toko-Toko Barang Antik di Pasar Antik Jalan Surabaya (Sumber: Dokpri)
Ada kisah unik sebelum akhirnya saya menemukan Pasar Antik Surabaya. Suatu hari saya ikut event Kompasiana Nangkring di daerah Kuningan. Posisinya saat itu saya naik kendaraan online. Nah, abangnya inilah yang memberitahu saya, ada pasar khusus yang menjual barang antik di Jl. Surabaya. Akhirnya saya kesampaian juga untuk sekedar lihat-lihat seperti apa sih Pasar Antik Surabaya itu. Sepanjang Jalan Surabaya itu penuh dengan toko-toko kecil yang menjual beraneka macam barang antik yang memiliki nilai seni dan sejarah yang luar biasa. Beberapa barang-barang antik yang dapat saya temukan di sana antara lain: guci, peralatan kuningan (teko, piring, tatakan saji, sendok, garpu), wayang, keris, lampu, radio, jam, televisi, telepon, lukisan, koper hingga alat kemudi kapal. 

Wayang antik di Pasar Antik Jalan Surabaya (Sumber: Dokpri)
Wayang antik di Pasar Antik Jalan Surabaya (Sumber: Dokpri)
Bahkan kemudi kapal pun ada loh di sini (Sumber: Dokpri)
Bahkan kemudi kapal pun ada loh di sini (Sumber: Dokpri)
Sayangnya karena saya tidak mengerti dan bukan kolektor barang antik, saya belum berani untuk bertanya harga pada sang pemilik toko. Bagi kamu yang suka dengan barang antik, pasar antik di Jalan Surabaya ini recommended banget deh. Pasar ini tidak hanya ramai oleh kolektor domestik, namun juga diminati oleh turis dan kolektor mancanegara loh. Lokasinya juga strategis banget loh karena dekat dengan Stasiun Cikini sekitar 300 meter jaraknya. 

Berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari ensiklopedia Jakarta, pasar ini mulanya mulai beroperasi sekitar tahun 1960 dengan barang dagangan berupa barang bekas. Seiring berjalannya waktu, ternyata barang bekas yang dimaksud lebih ke barang antik. Jadilah sampai saat ini pasar ini terkenal sebagai Pasar Antik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun