Yudi, salah satu pegawai hotel Danau Toba di Medan berkata kepada saya, betapa ia masih ingat masa kecilnya begitu berbahagia saat menjelang Natal di kawasan perumahan pegawai itu. Kebetulan orang tuanya adalah pegawai tekstil yang menetap di sana. “Malam Natal adalah malam yang dinanti-nanti kami. Pak Katua datang ke gereja, sepanjang jalan menuju gereja kami sudah berbaris dengan lilin-lilin menyala…, ia menyapa kami satu persatu, bahkan anak-anak tak pernah lupa diberi kado. Apalagi acara sinterklas, Pak Katua sengaja menyediakan kado banyak. Swaterpit pura-pura bawa karung. Anak nakal tidak dapat kado…hahahahaa…!! Semua tentu atas perhatian Pak Katua…, kenangan indah kami masa kecil “. Pak Katua memang ada di mana-mana. Meski ia sudah wafat lama, 18 November 1991, namanya masih dikenang. Sisa-sisa bangunan tekstil yang sudah tidak berproduksi, lapangan bola yang hanya sesekali digunakan, dan kawasan Binjai yang luas serta sekolah yang masih berjalan, adalah jejaknya yang begitu mulia. Belum lagi di area yang lain, di atas tanah 30 hektar di tengah kota, sampai kini masih berjalan Universitas yang didirikannya, balai pertemuan, juga Rumah Sakit Herna, yang ia ambil dari nama sang istri tercinta. Andai ia melihat senyum sumringah anak-anak SD TD Pardede kelas satu yang muncul dari balik jendela kelas mereka, tentu ia akan bahagia sekali. Setidaknya, cita-citanya memajukan pendidikan di Indonesia, memajukan rakyat khususnya Sumatra Utara, pernah ia nikmati hasilnya. ** foto-foto oleh Linda Djalil **