Prabowo, Wiranto, Soebagyo HS, Sjafrie Sjamsoedin yang biasanya ramah dan murah senyum kepada saya, beberapa hari itu di Cendana bermuka masam. Lihat saya langsung menghindar. Diketuk jendela mobilnya oleh saya, Prabowo langsung mendelikkan mata. Uh, menyebalkan.
Maka tibalah hari yang mencengangkan itu. Aroma melati di ruangan yang menyebar sebagaimana biasa bagi saya sungguh 'nyelekit' saat itu. Wanginya bagai tak bermakna lagi. BJ Habibie tegang. Kepala rumah tangga istana, kepala protokol istana, seluruh jajaran di sana, sampai Tutut yang berkerudung lebar, mencoba tersenyum tapi pahit yang tertangkap.
Saya memakai blazer berwarna merah, karena memang sudah saya siapkan sejak jauh hari sebelumnya. Ruangan dingin itu merambat ke telapak tangan saya. Juga orang-orang yang berada di tempat itu. Air mata saya sudah menggumpal di sudut mata. Antara sedih, bahagia, bersyukur, was-was, semua bercampur aduk. Di satu sisi saya kagum atas cara kerja Soeharto. Namun di sisi lain pada perkembangannya saya menginginkan orang ini mundur. Terlalu banyak sudah penyimpangan yang terpampang di ujung mata.
Sehari-hari di meja Menteri Sekretaris Negara saya melihat surat bertumpuk, yang kadangkala berisi disposisi yang angker, berbau KKN, otoriter, dan tegas. Semua menjadikan suasana negeri ini menjadi semakin tidak karuan. Saya bayangkan betapa paniknya tanggal 21 Mei itu bagi orang-orang yang ibaratnya sepanjang nafasnya bergantung kepada kekuasaan sang Presiden ini. Untuk urusan jabatan, bisnis apalagi. Terbayang sudah bagai rontoknya daun di musim gugur satu persatu.
Saya bayangkan pula di detik yang sama betapa hebohnya adik-adik di gedung DPR maupun berbagai politikus serta rakyat di seluruh Indonesia menyambut peristiwa besar ini. Kaki saya kelu. Hanya berjarak sekian meter ada seorang lelaki berkuasa puluhan tahun, yang saya anggap tak begitu murah senyum kepada wartawan yang sehari-hari bersamanya tahun-tahunan, yang semula bagai tak tersentuhan teguran, kritik dan nasihat apapun, di depan saya menyerahkan kekuasaannya.
Sesungguhnya ia sudah dengan segenap hatinya menyerahkan waktu hidupnya untuk membangun negeri ini. Wibawanya kepada berbagai pembantunya memang tiada tara. Kesatuan selalu dipolesnya dengan sekuat tenaga. Namun manusia tak ada yang mampu menjelmakan dirinya semulus batu pualam seindah ciptaan alam. Khilaf tentu ada di sekujur tubuh siapapun. Termasuk Soeharto. Dan langkah kakinya menuruni anak tangga istana didampingi Tutut, adalah langkah akhirnya berada di rumah putih besar megah berlapis marmer bergelantungan lampu kristal itu.
Saya berdiri di ujung tangga. Mengangguk, melempar senyum kepada bapak dan anak ini, sampai mereka memasuki mobil dinas presiden. Tak ada yang langgeng di dunia. Semua adalah titipan Tuhan...