"Coba, ceritakan satu per satu kepada Bibi. Bibi pasti akan mendengarkan cerita Akil," lanjut merpati putih dengan senyum tipisnya.Â
"Pertama, aku mengkhawatirkan Paman Elang. Paman Elang belum kunjung datang kemari," jawab Akil yang mulai mau bercerita tentang apa yang membuatnya sedih.
"Bibi sudah bilang, Paman Elang pasti ikut membantu memadamkan api. Tidak enak dan juga tidak sopan jika Paman Elang meninggalkan teman yang juga ikut memadamkan api. Dan membantu makhluk lain itu harus tuntas dan ikhlas. Kamu mengerti, Akil?" kata merpati putih tersebut dengan lembut dan berusaha meyakinkan Akil.Â
"Iya, Bibi. Aku mengerti dan aku percaya sama Bibi. Percaya juga jika burung elang adalah burung yang kuat," kata Akil yang mulai percaya setelah mendengar penjelasan dari merpati putih.Â
"Lalu, apalagi yang membuatmu sedih?" lanjut merpati putih.Â
"Kedua, aku kangen ayah dan ibuku. Aku tersesat saat bermain petak umpet bersama teman-temanku. Lalu, aku ditolong oleh keluarga Noya. Paman Elang ini tetanggaan sama Noya, dan hendak membantuku mencari keluargaku. Makanya aku dan Paman Elang terbang bersama hingga sampai kemari," lanjut Akil dengan cerita sedihnya.Â
"Kamu ingat alamat tinggalmu?"Â
"Aku tidak tahu, Bibi. Ayah dan ibuku tidak pernah memberitahuku tentang itu."Â
"Terus berusaha. Pasti suatu saat Akil akan menemukan ayah dan ibu. Tuhan tidak akan mempersulit jika kamu tetap gigih berusaha," lanjut merpati putih dengan bijaksana.Â
Akil belum berani jujur kepada siapapun bahwa sebenarnya Akil sudah dua kali menjumpai ayah dan ibunya ketika terbang bersama Pak Elang. Karena Akil belum mau berpisah dengan Noya.Â
"Ketiga, aku kepikiran dengan keluarga Noya. Mereka pasti khawatir menanti kami yang juga belum kunjung pulang ke rumah Noya. Kemarin lusa aku terbang bersama Paman Elang. Tetapi, saat matahari mulai tenggelam kami sudah sampai rumah Noya. Hari ini, pasti mereka sedang menanti kami!" lanjut Akil.Â