Mohon tunggu...
Lina WH
Lina WH Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

• Ibu dari seorang anak laki-laki, Mifzal Alvarez.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Fabel - Persahabatan Akil dan Noya [Bagian 6]

6 Januari 2019   09:23 Diperbarui: 6 Januari 2019   09:50 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagian 1 - Bagian 2 - Bagian 3 - Bagian 4 

Bagian 5 

Akil dan Noya lalu beralih untuk main pasir setelah bosan bermain perang-perangan. Ibu Noya tetap mengawasi mereka, sesekali sambil mengerjakan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

"Noya, saat bermain pasir tidak boleh melempar pasir ya! Kata Ibuku itu sangat berbahaya jika terkena mata," kata Akil memberitahu Noya seperti Ibu Akil memberitahu kepada Akil.

"Iya, Akil. Dan selesai bermain pasir harus mencuci tangan, ya! Supaya kuman tidak bersarang di kuku kita," balas Noya dengan nasehat lain.

Mereka membuat bentuk gunung, istana dan juga rumah dari pasir putih yang sudah lama berada di samping rumah Noya. Pasir putih tersebut sangat bersih dan bebas kotoran binatang lain. Karena Ibu Noya selalu menjaga kebersihan dan selalu mengingatkan siapa saja yang bermain pasir, harus menjaga kebersihan pasir tersebut. Tidak boleh membuang sisa makanan maupun kotoran di atas hamparan pasir putih.

"Noya! Akil! Ayo makan dahulu," panggil Ibu Noya kemudian.

"Nanti, Ibu! Aku belum lapar!" jawab Noya yang menolak ajakan makan Ibunya.

"Tapi ini waktunya makan siang. Setelah itu, tidur siang," lanjut Ibu Noya.

"Tidak mau, Ibu! Aku mau bermain saja. Bermain itu sangat menyenangkan!" jawab Noya yang semakin ngeyel.

"Noya, kamu harus nurut sama Ibumu. Nanti dosa loh!" Akil pun menasehati Noya dengan pelan sembari merapikan pasir-pasir yang dimainkannya barusan.

"Tapi aku hanya mau bermain," jawab Noya kepada Akil.

Akil tetap diam sambil merapikan pasir. Ibu Noya pun akhirnya datang, dan merayu Noya supaya Noya makan siang.

"Ayo Noya! Lihatlah Akil sudah merapikan kembali pasir-pasir yang baru saja dimainkan. Noya juga ya," rayu Ibu Noya dengan lembut.

"Ibu sih! Aku suka bermain. Bermain itu sangat menyenangkan!"

"Noya, bermain itu ada waktunya, kata Ibuku begitu!" Lanjut Akil kemudian.

"Hei, anak hilang! Jangan ikut campur!" kata Noya dengan suara yang keras.

Ibu Noya langsung memeluk Noya, karena melihat Akil sudah mengepalkan tangan untuk memukul Noya. Tetapi, tetap saja pukulan Akil bisa mendarat di lengan Noya walaupun Noya dipeluk sang Ibu. Noya lalu menangis histeris. Ibu Noya nampak kesal. Kesal dengan Akil dan Noya. Noya yang cengeng dan manja, sedangkan Akil suka memukul.

"Akil! Tidak boleh memukul. Nasehati Noya baik-baik saja!" kata Ibu Noya dengan suara keras.

"Noya susah dinasehati, Bibi. Kan Bibi sudah menasehati dari kemarin. Tapi Noya tetap nakal!" kata Akil yang mulai membela diri.

Ibu Noya lalu diam. Sembari menggendong Noya, Ibu Noya pun juga menggandeng tangan Akil yang lembut tersebut  dan membimbingnya menuju tempat cuci tangan. Akil terdiam dan merasa bersalah. Tetapi tidak mau mengakui kesalahan tersebut.

Lalu, Akil mencuci tangannya sendiri dengan rajin dan hati-hati. Sedangkan Noya mencuci tangan dengan dibantu oleh Ibunya.

"Ayo kalian duduk di meja makan. Dan minum dulu air putihnya, ya!" perintah Ibu Noya kepada Akil dan Noya.

Akil dan Noya pun menuruti apa kata Ibu Noya. Namun setelah minum air putih, Akil tidak langsung makan. Sedangkan Noya langsung disuapi oleh Ibu Noya dan dibimbing untuk berdoa.

"Loh, kok Akil tidak makan?" tanya Ibu Noya dengan lembut.

"Nanti saja, Bibi. Aku belum lapar," jawab Akil singkat.

"Ini waktunya makan siang, Akil!" lanjut Ibu Noya.

"Iya, Bibi! Tapi kenapa Noya masih disuapi? Kan Noya sudah besar," kata Akil yang merasa aneh jika Noya masih disuapi.

"Aku masih kecil. Umurku baru empat tahun," jawab Noya untuk membela diri.

"Umur aku tiga tahun delapan bulan, Noya. Tapi aku sudah bisa makan sendiri."

"Loh, kamu belum ada empat tahun, Akil. Berarti gedean Noya," kata Ibu Noya menanggapi Akil.

"Iya, Bibi!"

"Tapi kamu sudah bisa bersikap dewasa," puji Ibu Noya kepada Akil.

"Karena aku laki-laki, Bibi. Kata Ayahku laki-laki itu harus kuat dan tidak boleh menangis. Karena laki-laki itu harus jagain perempuan!" jawab Akil dengan polos.

"Benarkah?" kata Ibu Noya.

"Iya, Bibi! Itu benar!"

"Berarti Akil harus jagain Noya ya? Noya kan perempuan," kata Ibu Noya dengan senyumnya yang manis, supaya Akil tidak tersinggung.

Akil terdiam lalu tersenyum. Dan kemudian mendekati Noya untuk segera minta maaf.

"Noya, maaf ya! Aku salah!" kata Akil kepada Noya sambil menjulurkan tangan kanannya untuk bersalaman.

Noya mengangguk sambil menanggapi uluran tangan Akil. Saling bersalaman, dan Akil mencium tangan Noya. Ibu Akil tersenyum menyaksikan dua anak kecil berbeda karakter yang sedang dihadapi saat ini. Sangat lucu dan menggemaskan.

"Akil, kalau sama teman tidak perlu cium tangan ya," kata Ibu Noya kemudian.

Akil merasa penasaran, karena mencium tangan setelah bersalaman itu dilarang. Jika bersalaman dengan Ayah dan Ibunya, Akil selalu mencium tangan.

"Kenapa tidak boleh, Bibi? Aku selalu melakukan itu jika usai bersalaman dengan Ayah ataupun Ibuku," Akil pun mulai protes.

"Iya, itu boleh jika dengan orang yang lebih tua. Jika sesama teman, tidak perlu mencium tangan ya! Cukup salaman, kemudian dilanjut tos. Okey!" Ibu Noya pun berusaha memberikan penjelasan dengan bahasa yang sederhana..

"Ibuku tidak mengajari itu," ucap Akil kemudian.

"Nanti, coba tanyakan lagi tentang hal tersebut kepada Ibumu. Pasti Ibumu juga akan mengatakan hal yang sama dengan Bibi!" lanjut Ibu Noya.

"Baiklah kalau begitu, Bibi. Bibi pintar ya? Dulu Bibi juga sekolah, ya?" tanya Akil dengan polos, namun dianggap lucu oleh Ibu Noya.

"Iya, dulu Bibi sekolah."

"Wah, Bibi hebat!" puji Akil.

Akil pun lalu mengambil makan yang sudah tersedia di meja makan. Sedangkan Noya sudah mulai mau makan sendiri, tanpa disuapi. Ibu Noya pun ikut makan bergabung bersama Akil dan Noya.

Setelah selesai makan, mereka merapikan tempat makan bersama-sama. Mencuci piring bersama-sama, dan kemudian mencuci tangan. Setelah itu, Akil dan Noya pun menuju kamar yang berbeda untuk tidur siang.

"Ibu, aku ingin tidur bersama Akil," rengek Noya kepada Ibunya.

"Noya, kalian tidak boleh tidur bersama. Akil itu laki-laki dan Noya perempuan. Kalian berbeda, jadi harus tidur di tempat yang berbeda juga," Ibu Noya berusaha memberi penjelasan ringan kepada Noya.

"Kenapa tidak boleh, Ibu? Kan kita boleh main sama-sama. Kenapa tidak boleh tidur sama-sama?" lanjut Noya dengan pertanyaan polosnya.

Ibu Noya terdiam sejenak untuk mencari kata- kata sederhana yang mungkin bisa dimengerti Noya.

"Noya, Akil itu laki-laki. Dan laki-laki itu lebih kuat. Nanti kalau pas Akil tidur lalu mengigau dan kaki Akil menimpa Noya, bagaimana?"

"Pasti sakit!" jawab Noya polos.

"Iya, pasti sakit. Makanya tidak boleh tidur bersama ya," kata Ibu Noya dengan lembut.

Noya pun akhirnya memahami kata-kata sederhana yang baru saja disampaikan oleh ibunya. Dan kemudian tertidur dengan pulas.

Bersambung... 
Ditulis oleh Lina WH 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun