Lalu, aku pun meninggalkan ember besar yang aku gunakan untuk merendam pakaian suamiku. Kemudian, mengajaknya ke ruang makan. Mengambilkannya makan dan juga menyiapkan air putih.
Aku melihat tatapan mata yang teduh darinya. Sungguh, aku telah telah jatuh cinta kepadanya. Tapi aku masih merasa keki. Suamiku orang yang masih asing bagiku, walaupun dia telah sah memilikiku seutuhnya.
Aku sangat kagum kepada suamiku yang selalu mengucapkan terimakasih setelah aku selesai mengerjakan sesuatu untuknya.
"Bunda, bulan depan Ayah pindah tugas di Ibu Kota. Tapi, tugas tetaplah tugas. Jika tidak bisa pulang setiap hari seperti profesi lainnya, maafkan Ayah ya! Karena itu sudah komitmen Ayah. Tetapi kita harus bersyukur karena bisa sering bertemu dan mungkin tidak akan lama untuk sering meninggalkanmu."
"Ayah, aku tahu, aku paham dan aku mengerti. Karena itu juga pilihanku. Jika aku tidak mau, sudah dari dulu aku menolak lamaranmu karena profesimu," jawabku dengan senyum.
"Kamu tidak keberatan?"
"Tentu tidak!"
Lalu aku pun mengambilkan air minum untuk suamiku. Aku tidak tahu apakah suamiku benar-benar haus atau hanya sekedar untuk menghargaiku saja. Ah, biarlah. Yang penting suamiku adalah segalanya untukku. Karena aku sudah bisa mencintainya dengan segenap rasaku. Sungguh, suamiku adalah orang yang paling tanggungjawab dan mencintaiku seutuhnya. Aku tidak salah jika kini aku benar-benar jatuh cinta kepada suamiku.
Lalu, suamiku memelukku dari belakang ketika aku sedang duduk santai di meja makan itu. Getaran cinta, sangat terasa mengalir.
"Bunda, ini adalah hitam putihnya pernikahan. Tak cukup dua warna jika tidak mau dibilang buta warna. Kita perlu perbanyak warna supaya semua terasa indah," kata suamiku yang masih tetap memeluk tubuhku.
SELESAI...