Cerita Sebelumnya dari Sigit disini
“Addduuuuuuuuhhh” Suara gaduh Carolina yang sepertinya nubruk pintu, ia nampak buru-buru masuk ke dalam rumah Dukun Bambank dengan terpincang-pincang.
“Ono opo sayangku? Kok sepertinya ketakutan begitu?”
“Heh! Nggak usah pake sayang-sayangan. Roro Ayu! Loe lupa? Roro Ayu!” Bentak Carolina yang memang tidak punya sopan santun itu. “Elo pelihara setan ya? Barusan saya dilihatin setan-setan kecil di luar”
“Setan opoooo? Di sini nggak ada setan yang berani sama saya! Lha wong saya ini simbahnya setan kok!”
“Lha yang barusan ketemu gue di ayunan itu sopoooo? Lihat kaki saya jadi bengkak begini!” Bantah Carolina sambil menunjukkan kakinya yang bengkak karena nubruk pager sampai jungkir balik koprol di luar tadi.
***
Sementara dijalanan kampung yang sunyi terlihat tujuh anak berkostum setan lari terbirit-birit. Mereka lari jatuh bangun tanpa jelas arahnya.
“Para pandawa, Unyil, Pariyem… Berhenti dulu disini. Kita Istirahat!” Teriak Gugun mengajak kawan-kawannya untuk beristirahat.
Mendengar komando dari boss mereka, segera keenam anak tersebut menghentikan larinya. Unyil dan Pariyem lunglai. Sadewa dan Nakula alias Sigit dan Jenni duduk saling berdempet karena ketakutan. Ngashim langsung nyungsep kebawah ketiak Gugun, karena hanya Gugun satu-satunya yang terlihat lebih tenang. Sedangkan Hendra, body language-nya terlihat beda, ia tampak tidak nyaman dengan dirinya sendiri.
“ssss… sssssss…” Gugun mendengus, sepertinya indra penciumannya menangkap aroma lain.
“Ngopo to koe Gun? Bukan bau kemenyan kan?” Tanya Unyil penasaran dan membuat teman-teman lainnya makin ketakutan.
“Dudu Nyil, iki aromanya bikin mumet… pesiiing!!!!” Jawab Gugun. Semua yang ada disitu terperanjat. Hendra cengengesan.
“iya dul, aku ngompol” Kata putra mantan model itu dengan polos.
Mereka terkekeh-kekeh, menertawakan penyakit hendra yang suka ngompol kambuh. Namun tak berapa lama suasana menjadi hening kembali. Pikiran mereka kembali pada kejadian yang baru saja dialami di rumah dukun Bambank.
“Sit… Kok tempat iki serem banget to? Neng endi to iki?” Pariyem berbisik pada Unyil. Mendengar pertanyaan Pariyem, Unyil mencoba tenang dan memperhatikan sekeliling tempat mereka. Betapa kagetnya Unyil setelah menyadari dimana mereka berada sekarang.
Secepat kilat ia menyeret tangan Pariyem sambil berteriak “Pandawa kaburrrr… kita di kuburaaaaaaaannnn”
Serentak ketujuh anak tersebut tunggang-langgang.
“Romoooooooooooo…. Toloooooongggg…” teriak Hendra sambil menangis dan memegangi celana yang semakin banjir.
Mereka tidak menyadari arah saat mereka lari dari rumah dukun Bambank. Asal berlari sampai dipinggiran desa dan mblesek ditengah kuburan.
“Mak Murniiiiiii… Papih Yo… Huwaaaaaaaa… Pandawaaaaaaaa… tuluuuuuuuuuunggggg, aku ditangkep setaaaaannnn” Teriak Jenni sambil menangis, karena dia merasa ada yang menarik dan tidak bisa berlari. meskipun ketakutan demi rasa persahabatan yang berada diatas segalanya, para pandawa ikut berhenti.
“Tuluuuuuuuunggg tangannya setan narik-narik bajuku”
Dengan perlahan Gugun mendekati Jenni. “Plooook” Tangannya namplok kepala Jenni yang masih sesenggukan. “Iki kecantol ranting, dudu setan duuuuullll”
Ono Tutuge…
Baca Kisah Lainnya di Balada Chentingsari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H