Gagasan pluralisme sebagai wadah dalam rapat Komite Nasional Indonesia pada tanggal 16 Oktober 1945. Komite Nasional mengusulkan agar diserahi kekuasaan yang legislatif dan menetapkan GBHN agar disetujui oleh pemerintah. Adanya desakan tersebut atas nama Presiden, Muhammad Hatta sebagai Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat Pemerintah Nomor X Tahun 1945.
Maklumat Pemerintah tersebut memuat yang intinya, sebagai berikut :
a.Sebelum terbentuknya MPR dan DPR dari hasil pemilihan umum Komite Nasional diserahi kekuasaan legislatif dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
b.Menyetujui bahwasanya pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan yang dijalankan oleh sebuah badan pekerja dan bertanggungjawab kepada Komite Nasional Pusat.
Kuatnya paham demokrasi pluralistik pada tahun 1945-1949 yang ditandai oleh sistem multi partai telah mampu meredam sistem politik dengan dominasi peranan pemerintahan negara. Hal tersebut membuktikan bahwa partai-partai politik sudah mampu menjatuhkan kabinet yaitu Kabinet Syahrir I, II, III, dan Kabinet Syarifuddin sebagai pengganti dari Kabinet Syahrir II. Kondisi tersebut berlangsung sampai pada tahun 1947.
Sejak tanggal 17 Agustus 1945, UUD 1950 menggantikan Konstitusi RIS. Bentuk negara serikat yang berubah menjadi negara kesatuan. Hal ini mengakibatkan jatuh bangunnya kabinet menjadi sebuah pemandangan yang lazim. Bahkan menurut Rusdi Kartaprawira, mengatakan bahwa selama periode tahun 1950-1959 terdapat 7 kabinet. Pernyataan tersebut berarti rata-rata umur kabinet kurang dari 15 bulan saja.
Sudah diakui bahwa UUD 1945 memang telah membangun sistem executive heavy, yang mengandung ambigu, serta terlalu banyak sekali atribut kewenangan sehingga sering terjadi punguasa negara menggunakannya guna untuk mengakumulasi kekuasaan-kekuasaannya secara terus-menerus. Sangat tepat apabila di dalam penjelasan UUD 1945 Â menyatakan bahwa " Yang sangat penting di dalam pemerintahan dan dalam negara adalah semangat, semangat untuk para penyelenggara negara".
Melihat pelaksanaan demokrasi setelah amandemen UUD 1945 telah menunjukkan adanya suatu kemajuan. Buktinya adalah sebagian besar aspirasi dari rakyat mengenai penyelenggaran pemerintahan negara telah di komodir. Sistem pengawasan, budgeting dan regulasi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah berjalan lancar tanpa ada campur tangan dari kekuasaan atau rezim yang sedang dikuasai.
Hal tersebut telah menandakan adanya sebuah semangat dari penyelenggara pemerintahan negara untuk tidak bisa keluar dari koridor konstitusi dalam mengartikan demokrasi. Apabila  terlalu kuat posisi DPR dibandingkan pemerintah maka akan menjadi ketidakberdayaan pemerintah di dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Begitu pula sebaliknya, terlalu kuat pemerintah ketika sedang berhadapan dengan DPR akan menjadi lemahnya fungsi dari regulasi, budgeting dan pengawasan.
Konsep dari perkembangan demokrasi tidak dapat dilepaskan dari sejarah awal munculnya deklarasi Kemerdekaan Amerika pada tahun 1776 dan Perancis pada tahun 1789. Konsep perkembangan demokrasi, tidak bisa dilepaskan dari adanya persamaan hak di depan hukum dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang kemudian berkembang dengan pemisahan dan pembagian kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan judikatif. Hal tersebut juga menjelaskan bahwa tidak bisa di lepaskan adanya konsep Negara hukum.
Demokrasi di Indonesia telah berkembang seiring dengan pergolakan politik yang terjadi setelah kemerdekaan Indonesia. Perubahan dari konsep demokrasi terjadi mulai dari demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin sampai ke demokrasi presidensil. Akan tetapi pada dasarnya, peranan pemerintah di dalam menjalankan demokrasi masih sangat dominan, hal ini di karenakan dalam UUD 1945 beserta amandemennya, masih bisa dilihat kekuasaan pemerintahan tetap lebih besar dibanding dengan kekuasaan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H