Wiranto, selain sebagai Jendral dan salah satu petinggi negeri ini, saya juga mengetahuinya dari Laksda Handoko Prasetyo, RSS, MSi., ayah angkat suami saya, mantan Komandan Armabar sebelum Freddy Numberi. Teman-teman jajaran memanggilnya "Han". Saya dan suami menyebutnya Pak De.
Pak De bercerita bahwa beliau dan pak Wie (sebutan bagi pak Wiranto) sama-sama menjadi ajudan pak Harto. Pak Wie lebih dulu, baru kemudian pak De masuk menjadi ajudan pak Harto. Saya pernah menulis di twitter, lalu dia membalas dengan ramah. Saya terkesan.
Banyak cerita-cerita lucu, seputar pak De dan Pak Wie, saat baru masuk menjadi ajudan pak Harto.
Saya mencatat, selaku ajudan Presiden, pak Wie telah membuat keputusan tepat disaat yang tepat.
Saat demo menuntut Suharto mundur, rakyat kebanyakan sudah tidak menginginkan Suharto berkuasa lagi, lagi dan lagi.
Saat-saat genting peralihan kekuasaan, adalah saat rentan bagi negeri kita. Suharto turun, lalu pemerintahan kosong, lalu negeri ini berada dalam status quo tanpa pemerintahan. Kekuatan asing masuk dan menguasai Indonesia kapan saja. Setiap detik, adalah berharga.
Indonesia membutuhkan deretan ahli strategi untuk menghindari ini. Sementara situasi di istana panas penuh kemelut, maka di lapangan panas bergolak. Mahasiswa bergabung dengan rakyat terus meneriakkan reformasi.
Pak Wie, bersama beberapa deretan jendral lain mengambil keputusan penting. Mereka harus mengambil keputusan atas nama negara dan bangsa. Bukan atas nama pak Harto, keluarga, anak-anak pak Harto juga kroni-kroni seputar Cendana.
Bila pak Wie mau otoriter dan memikirkan diri sendiri, maka dengan senjata, personil dan uang yang sangat besar dari pihak yang menginginkan demo selesai, dia bisa memilih berpihak pada keluarga Cendana.
Pak Wie mengambil keputusan berpihak pada mahasiswa dan rakyat yang saat itu sedang marah. Pa Wie mengambil keputusan dengan resiko nyawanya, pangkatnya, karir militer juga nafkah bagi keluarganya.
Bila ternyata demo Reformasi gagal, maka pak Wie menjadi deretan jendral yang terancam terbuang. Bila reformasi berhasil, maka pak Wie harus berada pada deretan terdepan jendral pemikir negara, tanpa harus menjadi orang nomor satu.