Bagi warga DKI, Idul Fitri kali ini adalah Idul Fitri dengan diselubungi selimut panas silih-berganti.Â
Mulai dari saat malam menjelang takbiran beredar adanya kabar tentang larangan bagi Prof.DR. Quraish Shihab untuk berkhotbah di masjid Istiqlal, yang kemudian diikuti keesokan harinya dengan adanya postingan-postingan  bahwa Istiqlal sepi, hingga munculnya gambar-gambar yang kemudian menjadi pembanding terhadap kebenaran beredarnya kabar tersebut.
Kebesaran ulama sebesar Prof.DR. Quraish Shihab tentu tidak bisa dibandingkan dengan manusia-manusia yang tidak jelas kadar keilmuannya, lalu menjadi besar karena postingan-postingan "hebat"yang tidak memiliki pertanggungjawaban sumber informasi.
Menjadi penyejuk selimut panas Idul Fitri ini adalah saat beredarnya berita-berita tentang kedatangan para tokoh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Islam Majelis Ulama Islam atau GNPF MUI di istana Merdeka 25 Juni 2017, hari Minggu. Walaupun MUI tidak mengakui relevasi antara GNPF MUI dengan keberadaan MUI di Indonesia.
Pimpinan GNPF MUI yang hadir, antara lain Dewan Pengawas Yusuf Muhammad Martak, Ketua Bachtiar Nasir, Wakil Ketua Zaitun Rusmin, juru bicara Kapitra Ampera serta pengurus lainnya, yakni Habib Muchsin serta Muhammad Lutfi Hakim.
Sementara itu, Presiden didampingi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto, Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan MenteriAgama Lukman Hakim Saifudin (Kompas, 25 Juni 2017).
Sebagian dari masyarakat pendukung GNPF MUI mengklaim bahwa ini adalah upaya antara pemerintah dan GNPF MUI untuk melakukan rekonsiliasi, upaya penghentian kasus RS serta meneriakkan titipan keadilan bagi kasus Buni Yani. Klaim tersebut muncul menyikapi konferensi pers GNPF MUI yang tersebar dalam media online.
Sebagian dari masyarakat pendukung pemerintah bereaksi dengan munculnya sindiran-sindiran terkait klaim-klaim  terhadap kedatangan para tokoh GNPF MUI ke istana Merdeka hari Minggu itu.
Muncul pula sengkarut kekhawatiran-kekhawatiran diantara klaim kedua pendukung.
Pihak pendukung GNPF MUI memunculkan kekhawatiran adanya "main mata" serta keberpihakan GNPF MUI yang akan berimbas pada berkurangnya pendukung gerakan muslim ini. Bahkan ada kabar, penasihat Presidium Alumni 212, Amien Rais juga ikut bereaksi usai mengetahui adanya pertemuan tersebut. Amien pun langsung memanggil Ketua Presidium Alumni 212, Ansufri Idrus Sambo, ke Yogyakarta untuk menghadap Amien Rais seperti yang dilansir oleh seword.com.Â
Silaturahmi pada saat Idul Fitri adalah sebuah suasana tahunan yang biasa diselenggarakan oleh banyak presiden di banyak Negara di istana masing-masing. Silaturahmi sebuah hal rutin.
Silaturahmi adalah  kegiatan yang baik yang bertujuan menyambung komunikasi. Sebuah komunikasi yang telah terjalin baik, komunikasi yang baik tetapi cukup lama terhenti, komunikasi yang sebelumnya baik lalu ada sebuah masalah yang menyebabkan komunikasi itu terputus, hingga komunikasi yang sebelumnya tidak ada dapat menjadi terjalin menjadi komunikasi yang lebih baik dalam sebuah silaturahmi. Apalagi momentum silaturahmi yang dipakai adalah momentum Idul Fitri.Â
Hasilnya, komunikasi akan terjalin lebih baik bila memang ada keinginan dari "kedua belah pihak".Â
Saya berpendapat, kita tidak perlu memaknai macam-macam atas silaturahmi tersebut. Sah-sah saja, bila kemudian bertebaran foto-foto silaturahmi Jokowi dan GNPF MUI yang dimaknai sebagai upaya rekonsiliasi, atau upaya penitipan pesan-pesan kasus RS atau kasus Buni Yani dan lain sebagainya.Â
Sah-sah saja bila GNPF MUI memiliki keinginan untuk bersilaturahmi dengan presiden Jokowi. Keinginan tersebut adalah sebuah keinginan baik sebagai muslim. Presiden Jokowi pun tidak mungkin menolak kedatangan siapa pun yang memang warga Negara untuk datang bersilaturahmi di istana Negara, apalagi saat hari Raya.
Terlepas dari adanya ajakan dari presiden untuk hadir pada acara open house atau tidak, atau adanya undangan atau tidak, kita patut bersyukur bahwa Prof.DR. Quraish Shihab jadi dan tidak batal berkhotbah di masjid Istiqlal. Sholat Ied tersebut ramai  dihadiri sekitar seratus limapuluh ribuan umat Islam. Kita patut bersyukur, bahwa seusai Idul Fitri,warga Jakarta dapat kembali ke kotanya dengan harapan suasana yang lebih sejuk.
Yang terpenting dari semua ini, sikap Jokowi adalah sebuah kewajaran manusia, sama seperti kita. Tentang sikap seorang Jokowi sebagai seorang manusia juga sebagai seorang kepala Negara.Â
Tidak perlu dimaknai macam-macam, Marilah kita berbaik sangka.Â
Karena silaturahmi pada sesama manusia adalah suasana luar biasa yang diberikan oleh Allah SWT. pada saat Idul Fitri, saat hari kemenangan.
(Herlina Butar-Butar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H