Sorenya kami ke Shichahai. Sayang, pemandangan yang bagus tertutup kabut diiringi hujan. Daerah ini sepintas mirip Kuta di Bali dan Khaosan Road di Bangkok. Sepanjang jalan dipenuhi kafe yang rata-rata menyajikan minuman keras diiringi nyanyian musisi-musisi lokal. Oh ya, saya merasa beruntung membawa jas hujan karena memasuki musim panas, Beijing hampir setiap hari diguyur hujan. Payung tidak cukup mempan. Saya pun cukup percaya diri mengenakan jas hujan karena hal ini cukup biasa di Beijing serta kota-kota lain di Cina.
Karena tidak ingin ketinggalan bus lagi, kami tiba di hostel lebih awal dari malam sebelumnya. Esoknya saya bangun lebih awal dari dua orang teman saya. Letak hostel yang sekitar 5 menit berjalan kaki ke pasar tradisional menguntungkan saya menghabiskan waktu di pagi hari. Pasar tradisional di Beijing cukup tertata dan makanan-makanan, sayuran, serta buah-buahan terhitung bersih jika dibandingkan dengan pasar tradisional di Jakarta. Saya sangat suka membeli buah persik dan apel Fuji di pasar tradisional Beijing karena harganya yang sangat murah dibandingkan di Jakarta. Saya membeli 3 buah apel Fuji seharga sekitar 8 ribu rupiah.
Sekitar pukul 11 siang, kami tiba di Tembok Cina dengan naik bus 867 dari Dongzhimen ke Mutianyu. Kami naik kereta gantung seharga 50 yuan sekali jalan dan 80 yuan untuk bolak-balik ke Tembok Cina. Cita-cita saya untuk tiba di ujung Tembok Cina berjalan kaki tidak tercapai karena kami terhitung tiba kesiangan. Bus kembali ke Beijing tiba pukul 4 sore. Jadi, pukul 3 sore kami sudah menuju perhentian bus.
Ada yang unik dalam perjalanan saya di Tembok Cina. Sekitar pukul 12.30 waktu Beijing, saya melihat bulan penuh. Sungguh ajaib! Ada bulan di siang bolong.
Terinspirasi Jakub, pria Polandia yang saya temui dalam perjalanan ke Tembok Cina, di hari Kamis, 27 Juni 2013, saya menghabiskan waktu menyusuri hutong, gang yang banyak terdapat di Beijing. Saya menikmati berjalan kaki menyusuri kota Beijing hingga tiba lagi di Wangfujing.