"Mam, sebentar lagi kita ke Ausi." Aku langsung memberitahu istriku yang kudapati sedang merapikan kamar.
Â
"Australi ? maksudnya Pap?"Alya balik bertanya dengan ekspresi keheranan.
Tanpa buang waktu aku menceritakan berita gembira ini secara detail kepada istriku. Terlihat dengan jelas pipi Alya merona basah dijatuhi butiran air mata bahagia. Tidak ada pertanyaan lagi selanjutnya, di depanku ia langsung bersujud syukur kepada  Sang Pemberi Rahmat. Hanya itu yang kami berdua sempat lakukan. Rasa syukur kami tidak cukup jika hanya diucapkan dengan kata. Agak lama Alya bersujud kemudian duduk di sampingku. Kata Alhamdulillah beruntun keluar dari bibirnya entah sudah berapa kali. Aku tidak sempat menghitungnya. Bagaimana tidak membuat kami bahagia, bukan hanya aku yang menginginkan kesempatan ini. Tetapi ada beberapa orang yang kutemani bertanding memenangkan beasiswa tersebut. Sekali lagi Alhamdulillah yaa Rahman ya Rahim aku yang terpilih.
 Makan malam kami menjadi berbeda bukan karena lauknya yang berbeda tetapi perasaan kami yang sedang berbinar. Tahu tempe yang dihidangkan Alya kukunyah dengan lahap.Nafsu makanku meningkat, tanpa sadar sudah dua kali nombok. Padahal biasanya aku makan cukup dengan sepiring saja. Kulihat Alya juga tidak kalah denganku. Anakku Faqih dan Fatir juga ikut makan seolah mengerti perasaan kami padahal mereka paling susah diajak makan. Kali ini serasa hidupku begitu sempurna. Terima kasih ya Allah, Kau telah memberikan kebahagiaan ini kepada kami.Â
Di ruang tengah, sambil ditemani buku dan tentunya secangkir teh panas aku menghabiskan waktuku sampai larut malam. Kali ini tidak semua yang kubaca tersimpan di otakku. Peristiwa tadi siang masih mengikutiku. Kisah novel Taj sesekali muncul di lamunanku, sosok Arjumand Banu kusandingkan dengan istriku Alya. Di sana ada kemiripan yang kudapati, Alya seorang istri yang selalu mendampingiku dengan cintanya. Pada Alya aku menemukan semua yang diharapkan seorang suami kepada istrinya. Semoga semua itu langgeng harapku. Jauh di sana aku membayangkan hidupku dengan Alya setelah di Australia nanti. Asaku, kami sekeluarga bisa menjalaninya dengan sukses. Terlintas juga tentang pendidikan putra-putriku. Aku harus berusaha mencarikan sekolah di sana yang cocok dengan mereka. Sampai tempat tinggal untuk kami di sana nanti, beradu jadi satu di benakku.
Â
 "Pap..., Papi. Ini sudah subuh." Suara Alya membangunkanku.
Â
Terdengar dengan merdu lafaz adzan dikumandangkan dari masjid kompleksku. Aku segera bergegas takut ketinggalan, jarak rumahku dengan masjid cukup beberapa langkah. Aku termasuk salah satu pengurus di masjid itu. Kebetulan ada beberapa rekan kerja sekompleks denganku, jadi kami berkolaborasi menghidupkan masjid. Termasuk beberapa kegiatan sosial  lainnya. Seusai shalat subuh aku tidak langsung pulang ke rumah, bersama dengan bapak --bapak yang lain  mendiskusikan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan masjid.
 Pagi yang cerah seolah memahami bahwa sebentar aku harus memulai mengurus kelengkapan keberangkatanku. Seakan sengaja memberikan kesempatan kepadaku, tidak menghalangiku. Padahal kemarin di pukul yang sama cuaca tidak mendukung kota Makassar diguyur hujan yang deras.. Aku harus menghargai pemberian ini. Dengan dukungan Alya, aku bisa siap berangkat lebih awal dari biasanya.Â