Mohon tunggu...
Lina Lidia
Lina Lidia Mohon Tunggu... -

Love books (reading, writing, story telling) and try to be a good writer...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Aku (Juga) Anakmu, Ibu

23 Desember 2013   14:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nomor peserta : 455

Mertua dan menantu tidak akan pernah akur. Mertua selalu menganggap menantu telah mengambil anak yang selama ini dibesarkannya. Itulah kenapa mertua tidak pernah menyukai menantunya. Begitulah kata mereka padaku, Ibu.

“Yakin mau melahirkan di kota mertua? Kenapa gak mudik ke kampung halaman sendiri?”

“Yakin bakal diurusin sama mertuamu?”

“Tinggal sama mertua itu gak enak, lho. Banyak gak nyamannya.”

“Iya, lho. Apalagi kadang mertua itu rempong. Cerewet. Banyak maunya, bla...bla...bla... Nanti kamu sengsara, lho, di sana. Nanti kamu gak diurusin baru tahu rasa!”

“Yakin bakal diperhatiin sama mertua?”

Itulah pertanyaan dan sindiran yang sering diutarakan padaku, Ibu, saat aku menyampaikan rencana melahirkan anak pertamaku di kotamu. Ya, aku memutuskan untuk melahirkan di kota kelahiran suamiku. Tinggal di rumah mertua dan menanti saat-saat persalinan dengan didampingimu, Ibu. Tapi aku tidak takut atau khawatir sedikitpun. Aku tahu bagaimana Ibu menyayangiku. Aku tahu bagaimana Ibu peduli padaku. Dan aku tahu bagaimana Ibu akan memperlakukanku nanti.

Masih kuingat dengan jelas tahun lalu ketika penyakit lamaku –types- kambuh, Ibu datang jauh-jauh dari Makassar ke Jakarta untuk merawatku. Saat itu sebenarnya aku merasa tidak enak hati karena merepotkan Ibu. Harus membiarkan Ibu tinggal di kamar kost yang sempit, merawatku, membantu menyediakan kebutuhanku dan tidur berbagi denganku di tempat tidur yang sempit. Namun, aku melihat ketulusan dan kasih sayang Ibu untukku. Berulang kali, kurasakan tangan Ibu menyentuh dahi untuk memantau demamku. Ibu juga selalu terbangun di sepertiga malam terakhir untuk sholat tahajud dan hanyut dalam khusyuk do’amu. Aku memang tidak mendengar secara langsung do’a yang Ibu sampaikan kepada Tuhan. Tapi aku yakin dalam do’a Ibu terselip namaku agar kesehatanku segera membaik. Hal itu terbukti dengan kondisiku yang semakin hari semakin baik.

Ibu, aku sangat berterimakasih atas semua lelahmu merawat dan menjagaku hingga sehat kembali. Aku tidak yakin bisa membalas dengan sama baiknya kepadamu, tapi kuharap bahwa Tuhan akan membalas dengan lebih baik untuk semua kebaikanmu padaku.

Ibu, aku adalah menantu pertamamu. Sudah pasti setiap Ibu yang anaknya menikah akan berharap untuk segera menimang cucu. Namun, aku sangat berterimakasih kepadamu, Ibu, karena tidak pernah menanyakan padaku apakah aku sudah hamil atau belum. Tidak pernah terburu-buru untuk memintaku ke dokter dan mencari tahu kenapa aku belum hamil. Bahkan aku sangat berterimakasih karena Ibu selalu menghibur dan membelaku ketika beberapa kerabat bertanya tentang berita kehamilanku.

“Padahal kan sudah hampir delapan bulan menikah, masa belum ada hasilnya?”

“Belum isi ya? Kok lama?”

“Coba banyak minum vitamin. Makanannya dijaga. Jangan kecapekan.”

“Belum hamil? Kecapekan mungkin. Stress juga bisa. Makanya jangan terlalu capek. Jangan banyak pikiran.”

Itu selentingan, pertanyaan dan komentar yang kadang membuat hatiku ngilu dan berhasil membuatku menitikkan airmata setelahnya. Namun, semua itu tidak akan lebih menyakitkan seperti yang kudengar setelahnya.

“Belum hamil juga? Sudah periksa ke dokter? Jangan-jangan ada masalah! Dulu ada saudara yang lama menikah tapi belum hamil juga. Untung dipaksa ke dokter untuk periksa. Eh, ternyata ada miomnya. Jadi harus dioperasi dulu, pemulihan kesuburan baru bisa hamil. Ada juga kerabat yang ternyata setelah diperiksa ketahuan kalau mandul. Dinikahkan lagi deh, anaknya.”

Duh, sakit sekali rasanya mendengar semua itu. Begitukah aku di mata mereka? Bermasalah dengan kesehatan dan kesuburanku? Ingin rasanya aku menjawab pertanyaan dan penyataan itu. Bukankah keturunan itu termasuk rejeki dimana hanya Tuhan yang bisa menentukan kapan akan diberikan kepada kita? Lalu kenapa tidak sedikit manusia yang bertindak seperti Tuhan dan menghakimi berdasarkan pemahamannya yang belum tentu berdasar?

Tapi apalah dayaku, aku sudah tak mampu berkata-kata. Hanya berusaha untuk tetap memberikan senyum dan mengiyakan saja. Rasanya tangisku hampir pecah saat itu. Terimakasih, Ibu, karena telah membelaku dengan tegas. Menenangkanku dengan jawabmu.

“Jangan khawatir. Anak itu titipan Tuhan. Anak itu amanah. Pasti akan diberikan jika kita dianggap telah mampu untuk menjaga amanah tersebut. Ada yang setelah menikah langsung dikasih. Ada yang harus menunggu beberapa bulan bahkan ada juga yang harus menunggu sampai bertahun-tahun baru dikasih,” kata Ibu saat itu sambil menepuk pundakku.

Terimakasih, Ibu, karena tidak terlalu menuntutku untuk buru-buru hamil. Setidaknya itu mengurangi sedikit stressku. Meskipun aku tahu bahwa di lubuk hati Ibu pasti juga ingin segera menimang cucu. Namun, Ibu tahu kegelisahanku sehingga tidak mengutarakannya agar tidak semakin membebani pikiranku.

Sepuluh bulan setelah pernikahanku, Tuhan menjawab do’a Ibu untuk segera menimang cucu. Dokter menyatakan bahwa aku positif hamil. Aku sungguh sangat bahagia. Tidak hanya karena akan segera menjadi seorang ibu, tapi juga karena melihat kebahagiaan terpancar di wajah Ibu. Dan sekali lagi, Ibu menunjukkan ketenangan dalam senyum itu.

“Alhamdulillah, Tuhan sudah mempercayakan padamu, Nak.”

Sejak saat itu, Ibu semakin sering menelponku dan menanyakan kabar kehamilanku. Tidak lupa Ibu selalu mendo’akan kebaikan untukku dan janin dalam perutku. Ibu pun selalu mendukungku agar bersabar melewati semua fase kehamilanku.

Ibu, terimakasihku juga untuk pengorbanan Ibu meninggalkan keluarga di Makassar dan terbang ke Jakarta saat mendengar kabar bahwa aku sakit dan harus diopname. Saat kehamilanku berjalan empat bulan, aku mengalami muntah-muntah parah sehingga penyakit types-ku kambuh. Dokter menyarankan untuk opname. Sementara aku sendirian di Jakarta. Keluargaku ada di Jogja. Suamiku bertugas di Batam. Tapi Ibu rela segera datang dari Makassar dan menemaniku di rumah sakit. Menjagaku dan calon anakku agar segera membaik dan sehat kembali.

Aku tahu saat itu Ibu lelah karena baru saja mendarat tapi harus langsung ke rumah sakit. Ibu selalu mendampingi dan meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Aku semakin bersemangat untuk segera sembuh karena memikirkan janin dalam kandunganku dan juga memikirkan kesehatan Ibu. Semakin lama aku sakit akan membuat Ibu semakin lelah untuk menjaga dan merawatku. Kasih sayang dan perhatian Ibu memberiku obat yang jauh lebih manjur dibandingkan obat dokter.

Ibu, mungkin aku bukan anak kandungmu. Bukan juga darah dagingmu. Namun, kasih sayang Ibu kepadaku sama seperti kasih seorang Ibu kepada anak kandungnya. Itulah yang membuatku nyaman untuk tinggal bersamamu. Bagimu, aku bukan seorang menantu. Bagimu, aku adalah anakmu, sama seperti tiga anak kandungmu. Seperti itu pula yang kurasakan saat persalinanku dan saat-saat pertama aku menjalani hari-hari sebagai seorang Ibu.

Ketika dokter memberitahuku bahwa posisi janin masih sungsang sementara persalinan semakin dekat, aku sangat stress. Sedih, bingung, takut, dan khawatir jadi satu. Terlebih saat dokter menyempaikan kemungkinan terburuk jika aku memaksakan untuk melahirkan normal, seperti patah lengan bayi, bayi tersangkut dan tidak selamat. Dokter menyarankanku untuk menjalani operasi caesar dalam persalinanku. Berulang kali aku memikirkan kemungkinan itu. Aku mengingat betapa semangatnya untuk melahirkan anak pertamaku dengan normal. Namun, saat itu aku harus mengubur keinginan itu saat tiba-tiba ketubanku pecah dua minggu sebelum hari perkiraan lahir. Dokter menyampaikan bahwa saat itu posisi masih sungsang. Suamiku dan juga Ibu menyarankan untuk mengikuti apa kata dokter, yaitu operasi caesar. Setelah mempertimbangkan kondisiku, tidak adanya bukaan jalan lahir, air ketuban yang semakin menipis jumlahnya, dan kemungkinan-kemungkinan terburuk terhadap janin dalamkandungku, akhirnya kuputuskan untuk menjalani operasi caesar. Sekali lagi, Ibu ada di sana menemani, mendampingi dan mendo’akan keselamatanku dan bayiku.

Ibu, aku ingat sekali bagaimana Ibu memperlakukanku seperti seorang puteri sejak persalinan itu. Ibu melarangku banyak bergerak, sekalipun itu hanya untuk mengangkat piring dan gelas ke bak cuci piring. Ibu melarangku bangun di saat-saat anakku bangun tengah malam dan rewel.

“Tidurlah, Nak. Istirahatlah. Biar Ibu yang jaga Ayyash. Biar Ibu yang gendong Ayyash. Nanti Ibu bangunkan jika Ayyash haus dan mau minum.”

“Biarkan di situ saja, Nak. Jangan cuci piring.”

“Jangan angkat yang berat-berat, Nak. Biar Ibu saja yang angkat.”

Ibu selalu melakukan semua yang seharusnya bisa kulakukan sendiri. Mengangkat piring dan gelas setelah aku makan, mengangkat ember pakaian kotor, mencuci, menyetrika, menata baju dilemari, menggendong Ayyash saat bangun tengah malam, semua Ibu lakukan sendiri. Sementara aku? Ibu selalu memintaku untuk istirahat supaya bekas operasinya cepat sembuh. Ibu selalu memintaku tidur supaya cukup istirahat. Padahal, Ibu sendiri kurang istirahat. Kurang tidur. Sering begadang menjaga Ayyash.

Ibu, aku memang bukan anak kandungmu. Tapi kasih sayangmu padaku sama seperti aku adalah anak kandungmu. Sampai-sampai beberapa orang tak percaya bahwa aku ini hanyalah menantumu. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa aku memiliki kemiripan dengan Ibu. Entah mirip apanya. Tapi aku bahagia, Ibu. Sebab Ibu pun tak pernah memperkenalkanku sebagai menantu kepada teman-teman Ibu.

“Ini anak saya yang selama ini di Jakarta,” katamu setiap bertemu dengan teman-teman Ibu.

Ibu, aku tidak ingin mempedulikan apa kata mereka tentang buruknya hubungan mertua dan menantu. Aku tak ingin mempedulikan pemisah yang dibangun oleh orang-orang antara mertua dan menantu. Aku pun tak peduli semua ocehan ataupun sindiran tentang kedekatan kita sebagai mertua dan menantu.

Bagiku, apapun kata mereka, aku akan tetap menyayangimu, Ibu. Sampai kapanpun. Karena aku juga anakmu, Bu.

NB:

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun