Ambisius dan perfeksionis. Itu nama tengahku. Mo panggil ‘Sius’ or ‘Nis’ boleeeh...
Dulu aku nggak gitu. Sumpah deh! Ini semua hasil hidup bersama cowo koleris-melankolis yang selalu pengen mengubah semua orang seperti dirinya dan semua hal seperti yang diinginkannya, aku sedikit banyak ketularan sifat-sifat perfeksionisnya. Gak bisa liat yang gak rapi dikit, bawannya pengen ngeberesiiin ajah. A neat freak. Yes, that’s me :D
[caption id="attachment_212882" align="alignnone" width="236" caption="google image"][/caption]
Dan itu akhirnya ngefek banget ke caraku milih kelas dan dosen.
Pak Sunardi Djiwandono has always been my favourite! Teman-teman sering menjuluki beliau dosen killer. Aura sangar dan killernya sudah kondang di kalangan mahasiswa jurusan Inggris Universitas Negeri Malang.
Aku dengar beliau seorang preacher katolik, but that doesn’t bother me. Walopun aku berjilbab, sikap Pak Nardi sangat profesional. Tidak membedakan dengan mahasiswa lain. Satu poin positip yang kusuka. Obyektif.
Buat Pak Nardi yang matter itu adalah attitude mahasiswa di kelas. Apakah sudah mengerjakan tugas-tugas baca di rumah, yang artinya harus sudah siap dan mengerti akan membahas apa di kelas nanti.
Bukan hanya membaca, mahasiswa pun harus mempersiapkan presentasi. Per orang! Bukan kelompok. Agaknya, Pak Nardi sangat paham bahwa kalo dibikin kelompok akan ada beberapa mahasiswa males yang mbeling yang cuma akan nebeng nama dan nomor induk mahasiwanya dan ‘bersembunyi’ di balik keperkasaan intelektual teman-temannya yang rajin dan vokal. Atau mahasiswa yang sok vokal saat presentasi padahal dia nggak ngerjain apapun saat bikin papernya.
Tapi Pak Nardi memang sakti. Bagaikan Mpu Gandring yang sangat teliti dengan keris yang diolahnya agar digjaya, Pak Nardi selalu tahu dari kadar dan kualitas presentasi dan diskusi siapa-siapa saja yang bener-bener sudah bekerja keras dan siapa yang nggak siap berada di kelas ini. Mungkin saja beliau sudah tahu saat memandang ke wajah atau mata audiencenya!
Bukankah mimik wajah dan mata bisa bicara? Misalkan kita bertemu orang yang belum kita kenal di bis atau di manapun di tempat umum. Melihat wajah dan matanya kita akan mendapatkan first impression. Kita akan menebak apakah orang tertentu adalah seorang yang tidak percaya diri. Kadang kita bisa tahu seseorang itu adalah orang yang sombong hanya dengan melihat sikap dagunya yang mendongak. Kita bisa menebaknya dengan hampir akurat. Kita juga bisa menebak apakah seseorang itu anti sosial hanya dengan melihat kecuekannya terhadap sekitar.
Nah, Yang nggak siap kuliah, dijamin bakal kebat-kebit hatinya.
Aura Pak Nardi yang sudah kondang sangar and killer pasti sudah menciutkan hati mereka yang belum baca apapun untuk hari ini. Lha wong yang udah baca aja bisa ciut loh nyalinya. Padahal kalo diliat-liat, Pak Nardi ini facenya nggak jelek loh (apa? Jenius dan intelek? Hihi). Lumayan good-looking gitu deh, hampir setara dengan Pak Ali Saukah yang lebat (ups, maap Paak *nunduk-nunduk n salim sama Pak Ali Saukah) atau Pak ‘Ganteng’ Baradja yang murid langsung dari bapak syntax dunia Mister Chomsky, the American itu.
Tapi teteeep, begitu nampak bayangan Pak Nardi berjalan mendahului dirinya (Lucky Luuuke kalee) semua langsung ngibriit masuk kelas dan duduk (sok) manis. Kalo perlu nundukin kepala pura-pura sibuk membaca. Padahal sih malah ketauan groginya DAN bikin Pak Nardi makin curigation bahwa tuh mahasiswa yang nunduk-nunduk belum kelar baca bahan kuliah. Hahahaw, salah strategi, bow.
Menurutku sih, kalo bertubrukan mata sama dosen manapun, jangan nunduk. Lakukan eye-contact. Tahan kontak matamu, jiaaah ^,^ Tambahkan senyum sapaan yang ramah. Mata juga bisa senyum kan. Tunjukkan bahwa kamu sederajat dengan beliau, tapi bukan ngelunjak yaa, beda lah jreng! *eh, kok berasa di sekolah kepribadian yak, hahahaa :D
Jadi, kalo pandanganku bersirobok dengan mata beliau, biasanya aku akan balas menatapnya, dengan full confident, penuh percaya diri. Tau nih, kok bisaa aku separah itu ya, over pe de banget.
Selain over pede, aku juga egalitarian banget. Sifat egaliter ini, sepertinya udah muncul sejak aku aktif di kegiatan-kegiatan kampus dulu. Nggak pandang bulu. Malah jarang sungkan walopun sama yang lebih tua atau lebih muda tapi senior. Apa ya? Mungkin karena menurutku semua manusia itu sama di mata Allah kali. Hanya amal dan taqwanya saja yang membuat beda kan. Jadi, pe de aja lagi, slama kita nggak bikin dosa, nggak bikin salah.
Nah, karena nggak bikin dosa ma Pak Nardi a.k.a karena aku udah baca bab yang ditugaskan Pak Nardi tercinta (yes, that’s right. I love him. In a different sort of way laaah), juga udah bikin corat-coret sebangsa mind-mapping and note-taking ala quantum learning, biar lebih nyantol getoow. Mengikat makna gituu maunyaa. Kan kata sahabat (Ali bin Abu Thalib ra.) “Ikatlah ilmu dengan menulis.” ;)
Aku yakin dan dengan pede masuk kelasnya. Aku yakin aku bakal bisa ngikuti diskusi dan kalopun ada yang aku nggak ngerti nanti kan tinggal ngacungin tangan, tanya langsung, nggak pake mbuletisasi. Karena pernah juga Pak Nardi komen terhadap pertanyaan seorang teman di kelas. Beliau bilang “Saya bisa membedakan mana pertanyaan yang bermutu, benar-benar bertanya. Saya juga tahu mana pertanyaan yang asal tanya hanya untuk menggugurkan kewajiban bertanya.” Yang asal nanya, langsung keder dan mengkeret pastinya.
Heheh, sangar kan?? Pak Nardi gitu loh! Dosen yang kereeen kaan? *yaa Allah, kok malah daku yang narses ih.
Aku siy mikirnya normal aja lah kalo si Bapak mewajibkan kita baca satu bab, presentasi, diskusi, dan bikin pertanyaan tentang bab itu. Walopun ini lebih mirip metode kuliahnya jenjang S2, tapi masih acceptable lah. Mungkin Pak Nardi model dosen yang kepengen mahasiswanya bisa aktif dan mandiri.
Apa mungkin karena beliau lulusan luar negeri ya *kruk-kruk, mungkin juga sih. Aku emang belom pernah kuliah di luar negeri, tapi dosen-dosen yang rata-rata kuliah di luar ini sering banget membawa kultur budaya belajar orang luar di mari. Apalagi setiap selalu ada semacam Cross Culture Understanding gitu, mau nggak mau kita belajar budaya orang barat lah, secara jurusan kita kan Enggres getow.
Yaa, akademisi barat ternyata lumayan oke nerapin disiplin belajarnya, juga ilmiah cara berpikirnya. Aku suuuka itu. Yaa kita jangan niruin yang saru-saru di pantai-pantai tourism and resort itu dong, tapi kalo masalah keilmuan boleh lah kita adopsi, ya kan?
So, Pak Nardi, I’m glad I’ve tasted you, I mean...your class. ^_^
Hoping to sit in your class again someday.
You’re rock, Sirm/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H