Mohon tunggu...
Lim Suandi
Lim Suandi Mohon Tunggu... Freelancer - Belum Bekerja

Bukan siapa-siapa kamu. www.limsuandi.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Kita Putus Kontak, Masak Iya Mahar Kamu 50 Ekor Sapi"

29 November 2019   18:07 Diperbarui: 29 November 2019   18:28 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto kumpulan sapi (Sumber: Majalahinfovet.com)

Sebelumnya hubungan kita masih baik-baik saja, namun semua berubah ketika aku iseng berbicara perihal pernikahan dan mahar. Sehingga terjadilah perdebatan yang cukup hebat, perdebatan yang tidak mau kalah dan dipenuhi ego yang besar.

Begini, akan ku tuliskan dengan cara yang sederhana. Meksipun sulit diceritakan kembali dalam bentuk tulisan. Bahkan bisa saja sulit dipahami dan rumit untuk dimengerti. Semoga dapat dipahami meksipun ceritanya serumit pembicaraan siang itu.

Sebut saja Doi, ia mahasiswa Kesehatan Masyarakat di Sumatera Selatan. Mari ku ceritakan.

Siang itu Doi duduk di kursi samping meja depan pintu sekretariat organisasi kita. Sepertinya ia sedang tidak baik-baik saja, sebab kali ini ia pusing perihal revisi yang telah ditagih dosen pembimbing. Entah apa yang kupikirkan. Seperti biasanya, aku bertanya hal sederhana bagaimana hari ini? Apa yang membuat pusing? Serta berbicara perihal produk majalah, tabloid serta website organisasi yang masih belum mencapai target.

Entah ada yang merasuki pikiranku, beraninya melemparkan pertanyaan demikian. "Eh di daerah kalian perihal nikah seberapa besar mahar dan permintaan?"

Kenapa? Mau menikahi aku?

Kagak, nanya aja dulu. Kali-kali aku sanggup buat nikah dan kasi mahar serta seserahan ke kamunya.

Dengan sigapnya, Doi menceritakan di wilayahnya sangatlah besar mahar dan seserahan. Paling sederhana dua digit menuju tiga digit jika di uangkan, belum lagi jika yang menikah merupakan anak perempuan pertama atau anak pertama dari keluarganya. Ya secara otomatis mahar akan naik dan bisa mencapai tiga digit. Jumlah akan semakin bertambah jika orang tersebut lulusan kampus ternama. Maka resepsi akan mewah-mewahnya, pokoknya jangan sampai kalah dari orang yang biasa saja. Karena orangtua bakal malu jika mahar anaknya kecil. Orangtuanya beranggapan bahwa mahar besar sebagai penghargaan bagi perempuan.

Aku terperanga dengan ceritanya seraya berkata "Serius? Semahal itu? Bukan gitu ya maksud aku, emang kenapa harus semahal itu". "Apa kamu juga bakal minta mahar yang besar-besar ke aku?" tanyaku

Iyalah, aku kan anak perempuan pertama dari keluargaku, jurusan bergengsi di kampus kita. Mau pernikahan yang mewah dong, masak pernikahan yang biasa. Malu lah nanti bapak dan ibu aku kalau anak pertama mereka maharnya sedikit.

Gini-gini emang berapa sih mahar yang kamu minta dari aku? Tanyaku

Emang sanggup? Kerjalah gih, cari duit banyak-banyak!!! Mahar aku 50 ekor sapi. Ungkap Doi

Astagfirullah, serius 50 ekor sapi?

Iyalah, kamu tidak sanggup?

Gini ya, aku tanya lagi? Kalau mahar segitu besar terus kalau udah nikah percuma dong kamu kerja tapi nanti bayar utang dari mahar. Belum biaya resepsi yang mahal, percuma dong nanti kerja keras buat bayar hutang saja. Emang apa sih yang melatar belakangi kamu mau minta mahar segitu?

Hei !!! malu lah kalau mahar kecil. Kalau nggak sanggup ya aku cari orang lain lah. Sebab kata Papaku, kalau laki-laki sanggup kasi mahar besar. Itu menunjukan bahwa dia bakal mampu untuk menghidupi aku dimasa mendatang. Kalau kamu mau maharnya kecil artinya kamu nggak menghargai perempuan dong!!!

Gini ya, maksud aku percuma mahar besar-besar kalau nanti banyak hutang. Kenapa nggak mahar biasa saja, tanpa hutang. Toh nanti kalau sudah nikah duitnya (duit suami) bisa jadi milik kamu juga. Kok kamu mengikuti prinsip Papa kamu sih? Ini yang nikah kamu atau bapak kamu sih? Terus kenapa mahar kecil masak dibilang nggak menghargai perempuan!!!

Ya kata Papaku, kalau bisa penuhi mahar tersebut berarti orang tersebut bisa bertanggung jawab atas hidup aku kedepannya. Paham ngga sih? Intinya kalau nggak mau ya sudah.

Perdebatan tersebut tidak ada habisnya, capek pikiran dan menguras energi. Kenapa harus sebesar itu? Mengapa harus dipersulit seperti itu? Kita diam, dia marah dan beres-beres barang lalu meninggalkan ruangan dan membanting pintu. Bahkan malunya juga sih ada beberapa teman dalam ruangan tersebut, mereka terdiam dan membisu.

Hallo orangtua perempuan, masak ia kamu mengajarkan agar anak prinsip mahar besar sebagai sikap mampu atau nggak kami menghidupi anakmu kedepannya. Kenapa mahar besar juga di citrakan sebagai bentuk penghargaan pada peremapuan. Apa iya mahar kecil dikatakan tidak menghargai perempuan?

Ada yang salah, apa iya aku terlalu miskin untuk memilih Doi. Ah yang pastinya setelah kejadian itu kita sama-sama diam. Mulai memberikan jarak, mengurangi komunikasi, menghindari pertemuan dan kegiatan perkumpulan. Bahkan kabar tersebut menyeruak di anggota organisasi kita. Ah malunya aku tuh.

Sampai akhirnya Doi lulus kuliahnya dan di wisuda. Doi menggundang untuk datang, namun aku enggan. Sampai akhirnya doi mengirim pesan melalui whatapps yang isinya "Pasti gara-gara kemarin nih?, udah ah itu cuma bercanda saja kemarin".

Setidaknya ku respon dengan baik pesan tersebut yang intinya aku masih mikir studi dulu. Lulus saja belum malah mikir nikah, nanti kalau lulus kan kerja dulu biar banyak duit. Hehehe

Apa iya bicara tentang mahar sebercanda itu?

*bukan cerita saya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun