Mohon tunggu...
Lim Hendra
Lim Hendra Mohon Tunggu... Guru - Dosen, Pelatih dan Pembicara

Sedang belajar untuk menjadi lebih baik setiap hari

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

(Refleksi Senin pagi) Senin, 21 Februari 2016

22 Februari 2016   09:39 Diperbarui: 22 Februari 2016   09:47 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Senin, 21 Februari 2016
Selamat pagi Salam Senin pagi.

Senin baru Kesempatan baru

Hari ini minggu terakhir bulan Februari. Si waktu merayapnya super kencang, bukan? Rasanya baru saling mengirim ucapan dan harapan untuk tahun 2016 dan tanpa terasa 2016 sudah mau berjalan dua bulan. Seminggu lagi Maret sudah datang dan nanti akhirnya Desember pun tiba. Oleh sebab itu, jadikan Senin sebagai pemicu. Buang jauh-jauh I Hate Monday. Ganti dengan semboyan baru. Senin baru, kesempatan baru. Kondisi memang belum berubah tapi paling tidak sikap terhadap hari Senin tak lagi sama. Membenci Senin sudah jadi masa lalu. Saat ini dan seterusnya Senin adalah sahabat karena ia memberi kesempatan. 

Angin bosan berhembus cukup kencang minggu lalu. Dampaknya adalah pelajaran dan hikmah dari film Monkey King dan Deadpool. Awalnya tak tertarik dengan Deadpool karena bisikan bahwa film ini konyol, keras dan jelek. Bisikan ini pun ampuh karena akhirnya Monkey King II jadi pilihan. Film silat Mandarin memang jagonya film aksi dengan gaya bertarung yang sampai saat ini belum ada film Barat yang bisa menandingi. Tapi Monkey King bukan tentang berkelahi sampai mati tapi tentang komitmen dan janji untuk dipenuhi. Meski ini cuman tokoh rekayasa di film dan novel, tapi pribadi aslinya memang pernah hidup di dunia nyata. Biksu Huang-tsang namanya.  Kisah hidup dan komitmennya bisa jadi pemberi semangat saat mental lagi malas untuk bekerja mewujudkan cita-cita. 

Salah satu adegan menarik di Monkey King II adalah perapalan dari si biksu untuk menjinakkan si kera sakti. Sebenarnya bukan menjinakkan, tapi untuk menimbulkan rasa sakit luar biasa di kepala si kera karena gelang yang dipakaikan di kepalanya akan mengecil dan menimbulkan kesakitan luar biasa. Ia memang sakti tapi tetap gurunya lebih sakti. Tak perlu banyak keluar tenaga, terbang sana sini, ia hanya perlu duduk dan merapal mantra. Si kera yang bisa terbang, berubah wujud, dan entah bisa apa lagi tetap tunduk dan mengerang kesakitan ketika mantranya dirapalkan gurunya. Lebih sakti yang mana? Si kera atau guru. Dua-duanya pasti hebat. Tapi si guru tahu kelemahan si murid. Dan itu jadi senjata sakti untuk mengalahkannya. So, carilah celah kelemahan kompetitor anda dan jadikan itu kekuatan utama untuk bisa lebih unggul. Ingat yah, lebih unggul bukan mengalahkan. 

Dan satu ketika, si guru dengan sangat terpaksa merapal mantra karena si kera telah membunuh seorang ibu dan anak kecil. Yang jadi masalah adalah mereka berdua melihat obyek yang sama dengan wujud yang berbeda. Mata manusia si biksu tak bisa melihat bahwa mereka berdua adalah iblis yang hendak membunuhnya. Mata sakti si kera dengan jelas melihat gurunya terancam. Atas dasar melindungi, ia pun harus bertindak keras. Sayangnya si guru tak melihat yang dilihat muridnya. Salah paham, miskomunikasi dan saling tuding pun tak terhindari. 

Di dunia nyata tak sedikit kejadian yang sama terjadi. Dua orang melihat hal yang sama tapi mengambil kesimpulan yang berbeda. Dua-duanya ngotot pula dan tak mau mengalah. Konflik dan marah pun tak bisa ditunda. Hubungan pun renggang dan akhirnya reda. Bubar jalan tak lagi bisa dicegah. Oleh sebab itu, bicara dan mendengarkan itu harus terjadi. Di era pesan singkat, salah paham sudah pasti ada. Jika ada hal penting, tak perlu irit pulsa. Hati-hati menunggu pesan singkat di WA, LINE atau BBM dibaca. Saat pesan dibaca, suasana hati dan kondisi sudah tak lagi sama. Salah paham bisa dihindari dengan bicara. Penting mana? Pulsa atau hubungan indah? 

Deadpool akhirnya sukses dinikmati. Meski isu dan gosip mengatakan tak layak tonton, tentu saja percaya kepada pengalaman sendiri lebih memuaskan. Lucu, seru, dan tegang adalah tiga kata untuk menjelaskan Deadpool. Tak ada yang banyak dipetik hikmahnya dari isi cerita. Dan kadang itu juga tak terlalu penting. Ini bukan film untuk dinikmati melalui debat tentang karakter, jalan cerita dan plot. Ia menghibur lewat adegan seru, candaan yang kasar dan adegan-adegan konyol. Lalu kenapa  ia jadi bahan inspirasi hari ini? Hanya untuk kembali menegaskan untuk tidak mudah percaya dengan isu dan gosip sebelum dibuktikan sendiri. 

Isu seru di Jakarta minggu lalu adalah tentang Kalijodo. Kebetulan TKP hanya berjarak 2 km dari istana saya. Melihat jumlah polisi, dan tentara yang siaga di sekitar TKP,  jelas ini bukan hanya gertak sambal bang DKI 1. Beliau dahysat. Peduli dan mau kerja. Dia mau Jakarta bisa sekelas Singapore. Mimpi atau impian? Mungkin tidak cepat terwujud tapi bisa jika mau. Memang tak etis jika dibandingkan dengan DKI 1 sebelumnya tapi perbedaannya jelas dan nyata. Banjir menghilang entah kemana. Dimana-mana kali diuruk dan dibersihkan. Macet memang masih nyata ada tapi itu juga ulah orang Jakarta yang tak mudah ramah ketika di jalan, angkot dan metromini yang masih parkir di perempatan, serta perilaku displin pengendara roda dua yang menjurus ke barbar. 

Kembali ke urusan Kalijodo dan banjir yang menghilang, dua jempol buat DKI 1 wajar dan pantas. Sekali lagi terbukti bahwa motivasi dari hati adalah motivasi sejati. Ia tak butuh uang dan gaji. Rumahnya di daerah Pantai Mutiara sudah jadi bukti bahwa uang dan harta bukan tujuan akhirnya. Ini motivasi dahsyat. Tujuan beliau mulia. Untuk Jakarta yang tak lagi banjir, kumuh dan macet. Impiannya hebat tapi tak muluk karena kota-kota besar di dunia ini sudah banyak yang jadi contoh. Meski berat untuk menuliskan bahwa ia tegas dan terkadang mengeluarkan tutur yang bisa menyakitkan, tapi hasil kerjanya nyata. Kuncinya adalah di aksi dan bersih. Tak perlu risih jika bersih, bebas dari korupsi. Dengan aksi, semua mimpi bisa jadi nyata. 

Paragraf terakhir ini hendak berbagi cerita tentang rapat. Ada rapat yang menyenangkan, tapi kebanyakan rapat itu menyebalkan. Lama, bertele-tele, tidak ada bahan untuk membuat keputusan, ngomong sendiri dan seterusnya. Rapat yang asyik tuh kebalikan dari itu semua. Rapatnya singkat, paling lama 60 menit. Itu sudah cukup singkat karena ada banyak keputusan yang diambil karena sebelum rapat sudah ada bahan untuk mengambil keputusan. Orang-orang yang hadiri juga fokus karena mereka sudah tahu apa yang mereka harus sampaikan dan putuskan. Debat-debat sedikit itu biasa. Itu  malah cuman bumbu aja biar terasa seru. Rapat asyik butuh persiapan. Harus ada orang yang mau sibuk dan repot di awal sehingga waktu tak terbuang percuma di rapat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun