Waktu saya SMP, ada seorang guru yang menurut kami kejam dan menakutkan. Guru itu mengajar IPS. Kalau ada murid yang lupa membawa buku teks wajib, murid itu akan disuruh maju ke depan. Lalu, si guru akan membenturkan kepala murid ke dinding sekolah. Itu salah satu alasan di samping alasan-alasan lainnya mengapa guru itu membenturkan kepala murid ke dinding sekolah. Dinding itu memang terbuat dari papan tetapi itu pasti sakit. Gedebar, bunyi benturan kepala murid-murid SMP itu.
Guru macam itu tidak banyak, sangat sedikit tetapi orang-orang macam itu dikenang dalam waktu yang lama sebagai manusia yang kejam dan tidak menyenangkan.
Apes buat seorang guru seperti Suryani, guru honorer di Konawe Selatan, Sultra, yang harus menjalani proses peradilan karena memukul anak seorang polisi sampai memar dengan alasan si anak polisi tidak tertib mengerjakan apa yang diminta oleh rekan gurunya di sekolah tersebut yaitu menulis.
Saya kira nggak begitu rahasialah kalau di Indonesia ini, dari Sabang sampai Merauke, ada saja guru yang melakukan hal-hal yang mirip, mulai dari yang dianggab sepele seperti mencubit, memukul pakai alat seperti yang dilakukan Suryani itu bahkan sampai menendang.
Apes betul buat Suryani, mungkin saat dia memukul anak polisi itu dia nggak sadar apa kemungkinan akibat dari perbuatannya.
Orang tua yang normal tentu saja keberatan anaknya, apalagi masih SD mengalami perlakuan kekerasan sekalipun itu dari seorang guru. Pun, alasannya hanya karena anak itu tidak tertib melakukan kegiatan menulis di kelas karena sedang ditinggal oleh guru kelas si anak. Suryani mendatangi kelas si anak tersebut dan memukul si anak sampai memar.
Kalau pukulan itu sampai memar, kemungkinan besar pukulan Suryani itu termasuk keras. Kalau tidak keras, mana mungkin memar.
Sebagai warga negara, saya mau agar proses peradilan bagi Suryani berjalan dengan adil.
Kesan yang muncul yang saya perhatikan adalah pembelaan terhadap Suryani dengan alasan utama: ada kesepakatan sampai batas-batas tertentu bahwa memukul boleh sebagai tindakan mendisiplinkan anak.
Memukul murid, seperti apapun itu bentuknya, apalagi itu dilakukan oleh seorang guru, apalagi kalau situasinya hanya seperti yang terjadi di kelas si anak polisi itu adalah tindakan yang tidak benar! Itu jelas-jelas tindakan yang salah! Itu bukan mendidik tapi mendecerai si anak, tidak hanya secara fisik tapi juga mental.
Pembelaan mungkin akan muncul dari berbagai pihak terutama orang-orang dewasa yang menganggap memukul itu diperbolehkan untuk mendisiplinkan anak. Benar begitu? Sudah melakukan penelitian langsung dan mendengarkan apa kata anak-anak? Apakah bagi anak itu sendiri, dipukul itu dimengerti sebagai tindakan mendidik bagi dirinya?
Suryani itu berlebihan dalam bertindak! Di Indonesia ini, di lingkungan sekolah, masih ada banyak Suryani-Suryani yang lain. Hanya saja, orang tua si anak yang dipukul Suryani pakai sapu itu seorang polisi yang tidak terima anaknya dipukul. Pun, secara sosial, status Suryani sebagai guru honorer membuatnya rentan. Beda kalau yang tadinya memukul itu seorang guru yang bukan honorer, punya kekayaan lebih dari guru pada umumnya, atau pasangan dari guru yang memukul itu seorang dokter atau tentara, singkatnya, kedudukan sosialnya di masyarakat termasuk di atas rata-rata. Itu bisa aman, tidak seperti Suryani yang sudah secara sosial statusnya hanya sebagai guru honorer, suami kerja serabutan, wah, rentan betul dijerat hukum begitu melakukan kesalahan.
Bagi saya, jelas apa yang dilakukannya itu salah! Memukul seorang anak di dalam kelas menggunakan gagang sapu hanya karena anak itu tidak tertib menulis.
Inilah tipe atau jenis guru yang tidak cukup terdidik! Jangan marah kalau saya bilang jenis guru macam Suryani itu jenis guru yang kurang atau belum terdidik!
Anak-anak, apalagi kalau masih SD, apa iya harus kita paksa duduk rapi dan manis menulis apalagi kalau sedang ditinggal oleh guru di kelas?
Saya, waktu sudah kuliah saja, begitu dosen keluar dari ruangan, kami yang katanya sudah mahasiswa saja ribut kok. Dalam arti, begitu dosen tidak ada di kelas, atau belum datang padahal kami sudah menunggu di kelas, kami riuh, nggak teriak, hanya ngobrol dengan teman di kiri atau kanan. Gitu saja tetapi pernah ada seorang dosen yang tiba-tiba masuk dan langsung menggedor pintu kelas kami dengan sangat keras sambil berteriak, "Diaammm!"
Manusia tidak diciptakan oleh Tuhan untuk duduk-manis di dalam ruangan kotak persegi. Memaksa anak-anak secara halus dengan mengatasnamakan pendidikan untuk berada di kelas selama berjam-jam dan mengharapkan mereka tertib sepanjang waktu termasuk ketika guru tidak berada di kelas adalah tindakan biadab, tidak manusiawi.
Secara umum, manusia punya dua kaki, dua tangan, dan proporsi dari bagian-bagian tubuh ini termasuk besar untuk tubuh manusia. Jadi, dari bentuk tubuh saja, apalagi manusia punya mulut, mata, telinga, hidung, sangatlah tidak cocok kalau kita harapkan dia duduk manis saja di kursinya selama berjam-jam di dalam ruangan kotak empat itu.
Kalau ada orang berharap anak-anak duduk manis sepanjang waktu di kelas mematuhi apa yang diminta guru, sebaiknya patung-patung sajalah yang dijadikan murid, jangan manusia!
Orang yang melakukan tindak kekerasan dalam bentuk apapun itu, termasuk memukul murid di sekolah yang dilakukan oleh guru, adalah sebuah gambaran yang jelas bahwa si pemukul (yang juga adalah guru) mengalami persoalan-persoalan di dalam dirinya: tidak cakap mengendalikan diri, tidak cakap mendidik, tidak cakap mencari solusi kreatif dan manusiawi dalam menjalankan tugas sebagai pendidik, dan tidak cakap memahami apa itu pendidikan manusia.
Memukul itu adalah salah satu contoh buruk, termasuk pada kategori membulli bahkan lebih kejam daripada membulli karena dilakukan oleh seorang yang disebut sebagai pendidik.
Para guru di Indonesia membela Suryani. Itu bisa dimengerti tetapi bukan berarti tindakan Suryani itu benar. Tindakannya itu salah! Pembelaan kolega sejawat itu bukan tanpa motif-motif tertentu, saya kira. Mereka mau membenarkan bahwa tindakan mereka yang serupa/mirip juga harus dianggap benar! Meneruskan tradisi yang salah kaprah!
Kita mau pendidikan di Indonesia ini diwarnai oleh tangan-tangan lancang seperti Suryani? Apa yang akan dihasilkan dari praktek macam itu? Suryani-Suryani yang lebih lancang melakukan kekerasan! Itu yang kita mau?***
***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H