Mohon tunggu...
Limantina Sihaloho
Limantina Sihaloho Mohon Tunggu... Petani - Pecinta Kehidupan

Di samping senang menulis, saya senang berkebun, memasak (menu vegetarian), keluar masuk kampung atau hutan, dan bersepeda ontels.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kenapa Tantangan Hidup itu Perlu?

21 Januari 2023   14:21 Diperbarui: 21 Januari 2023   14:55 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Opung Silalahi bersama istri dan kedua cucu mereka, aku datang bertandang ke teras rumah mereka di Urung Panei belum lama ini, rumah kami berdekatan - dok.pri)

Tantangan Hidup dan Pembentukan Karakter

Setelah aku dewasa, aku mulai bertanya: mengapa anak-anak dari keluarga yang ekonominya bisa dibilang memprihatinkan ketika mereka masih kecil dan remaja, justru sebagian besar lebih berhasil dalam hidup ketika mereka sudah dewasa? Mengapa anak-anak dari keluarga yang berkecukupan dalam hal ekonomi (cukup sandang, pangan dan papan bahkan rekreasi) kadang malah lebih rendah keberhasilannya setelah dewasa dibanding dengan mereka yang berasal dari keluarga yang kurang berkecukupan? 

Kedua pertanyaan itu telah lama menggangguku. Bolak-balik memunculkan diri di dalam otakku. Heran. Kok nggak pergi-pergi kedua pertanyaan macam ini dari dalam kepalaku? 

Yang duduk di kursi berwarna hijau itu adalah Opung Silalahi, begitu kami menyapanya di Urung Panei. Beliau masih ada hubungan keluarga dengan ibuku, si Boru Damanaik. Ibu yang sedang mengupas kacang itu adalah istri dari Opung Silalahi, Opung Boru Tarigan. Mereka ditemani oleh kedua cucu mereka dari satu-satunya anak laki-laki yang bekerja sebagai polisi. 

(Opung Silalahi bersama istri dan kedua cucu mereka, aku datang bertandang ke teras rumah mereka di Urung Panei belum lama ini, rumah kami berdekatan - dok.pri)
(Opung Silalahi bersama istri dan kedua cucu mereka, aku datang bertandang ke teras rumah mereka di Urung Panei belum lama ini, rumah kami berdekatan - dok.pri)

Opung Silalahi ini mempunya empat orang anak dari istri pertama. Ketika anak ke-4 masih bayi, istrinya sakit dan meninggal dunia. Dia merawat dan membesarkan anak-anaknya sendirian. Beberapa tahun kemudian, dia menikah dengan Opung Boru Tarigan, dan mempunyai satu anak perempuan. Jadi, Opung ini mempunyai 5 orang anak: 4 dari istri pertama yang sudah mendiang, dan satu (anak perempuan) dari istri kedua, Opung Tarigan. 

Di kampung kami Urung Panei, 95% para orang tua bekerja sebagai petani. Ada beberapa yang bekerja sebagai guru, mereka ini pun, usai jam kerja di sekolah, biasanya langsung ke ladang juga, bercocok tanam. Pada masa itu, sebelum ada berbagai tambahan gaji untuk guru di negeri ini kan, mereka pada umumnya tidak bisa hanya bergantung pada gaji bulanan apalagi anak-anak mereka sudah masuk sekolah, sudah masuk perguruan tinggi, perlu ada penghasilan tambahan. 

Di Urung Panei tak ada orang yang kelaparan karena semua bekerja. Anak-anak juga bekerja. Usai sekolah, kami ke ladang membantu orang tua. Begitu juga dengan anak-anak Opung Silalahi. Kami tidak hanya bertetangga di kampung di Urung Panei tetapi kami juga bertetangga di ladang yang jaraknya relatif jauh dari rumah. Malah, karena jarak antara rumah dan ladang kami relatif jauh, kami kadang tinggal di ladang selama berbulan-bulan, bahkan bisa setahun dua tahun. Pada hari minggu, kami pulang ke Urung Panei, biasanya karena kami perlu, merasa perlu ke gereja. 

Kenapa kami tinggal di ladang? Beberapa alasan utamanya adalah biar bisa lebih banyak waktu bekerja di ladang, di samping, perekonomian orang tua kami memang cukup memprihatinkan, jadi kami harus belajar hidup seadanya. Pada waktu itu ya begitu keadaannya. Kalau orang tua punya cukup uang, biasanya tidak memilih tinggal di ladang, bolak-balik saja dari rumah ke ladang setiap hari. 

Setelah aku dewasa dan sekarang, aku sungguh sangat menghargai pengalaman itu. Kalau aku harus memilih antara mengalami kehidupan macam yang barusan kuceritakan itu dengan tinggal sebagai anak orang kaya dan segala sesuatu tersedia bagiku, maka aku memilih yang pertama, tinggal di ladang, di gubuk seadanya, malam hari ditemani suara jangkrik dan kadang desir angin yang menakutkan.

Pernah suatu malam, bapak dan inang pergi ke kampung dekat jalan raya tak jauh dari sekolah kami. Jaraknya dari ladang kami ke kampung yang kami namakan "Parsingkolaan" itu lumayan jauh, apalagi untuk ukuran anak-anak pada masa itu. Gelap dan semakin gelap. Aku bersama dua orang adekku. Aku mungkin kelas 4 SD, mungkin juga kelas 3? Aku dan kedua adekku merondok di pojok gubuk karena takut. Tak ada siapapun di perladangan itu, hanya kami. Mungkin waktu itu keluarga Opung Silalahi juga tinggal di ladang mereka tetapi rumah mereka di ladang itu pun jauh juga, hampir setengah perjalanan ke kampung yang bernama Parsingkolaan itu. Pun, rumah mereka di ladang mereka itu masih agak ke landaian bawah di areal perladangan mereka. Jauhlah! 

Dalam persembunyian di pojok gubuk di ladang kami, aku dan kedua adekku hanya bisa berbisik-bisik dengan suara pelan. Kami takut. Kami takut pada hantu dan bukan hantu. Kami takut kalau-kalau ada manusia dewasa yang datang membawa kami tanpa sepengetahuan orang tua kami. Kami bisa mendengar suara apa saja, bahkan suara desiran angin. 

Di gubuk di ladang kami hanya ada cahaya lampu teplok. Kami biarkan lampu itu menyala. 

Rasanya kami menunggu selama ribuan tahun...dalam ketakutan. Akhirnya, kami mulai mendengar suara manusia bercakap-cakap dari jauh. Semakin mendekat suara itu, dan kami mulai kenal jenis suara itu. Orang tua kami sudah mendekat. Rasanya lega. Kami bisa bernafas dengan normal, tadinya kan kami tahan-tahan bernafas. Kami dalam keadaan siaga tapi juga dalam waktu yang sama, kami dilanda rasa takut. Rasa takut melumpuhkan sebab kami cenderung jadi pasrah, tak bisa memikirkan apa yang akan kami lakukan andai ada orang asing yang akan membawa kami. Fokus perhatian dan harapan kami adalah kedatangan orang tua kami. 

Pengalaman macam itu ternyata tidak membuatku jadi trauma atau ketakutan kalau sendirian. Malah, aku senang-senang aja kalau sendirian. Nanti, ketika aku kembali ke Pulau Samosir dan tinggal bersama kedua opungku dari pihak bapak, aku malah mau ditinggal sendirian di rumah selama berhari-hari kalau kedua opungku pergi ke luar pulau. Aku senang-senang saja di rumah sendirian, termasuk pada malam hari. Bisa jadi karena aku telah melalui beberapa ujian keberanian melewati malam hari yang menakutkan pada usia yang lebih awal jadi berada di situasi yang lebih mudah, tak ada masalah bagiku sama sekali. 

Aku pernah menguji nyaliku beberapa tahun yang lalu dengan cara aku tinggal selama beberapa bulan di ladang, di tempat yang bisa dikatakan terbuka saja. Hari pertama yang paling sulit dan agak menakutkan karena aku telah mendengar cerita dari beberapa orang bahwa pertukaran waktu di tengah malam itu "rawan". Hahaha! Itu cukup mempengaruhiku pada hari dan malam pertama aku tinggal di ladang di ruang terbuka. 

Setelah hari dan malam pertama tinggal sendirian bersama beberapa anjingku di ladang, aku menemukan sesuatu yang sangat berharga dan luar biasa dalam diriku, yang aku tahu tak akan pernah kutemukan di mana pun kecuali di dalam diriku saja. Aku ternyata bisa melewati batas ketakutanku sendiri, terutama berkaitan dengan batas pertukaran waktu tengah malam yang konon adalah waktu-yang-rawan itu. 

Kemampuanku untuk tinggal sendirian di ladang itu bisa jadi juga secara tidak sadar ada hubungannya dengan pengalaman masa kecilku seperti yang kuceritakan di atas; bagaimana aku dan adek-adekku toh berhasil mengatasi rasa takut, sebagian walaupun dengan terpaksa dan dipaksa oleh keadaan. 

Kenapa anak-anak yang harus menghadapi berbagai macam tantangan justru lebih berhasil dalam hidup mereka? 

Dari segi ekonomi, sulit menjelaskan kenapa anak-anak Opung Silalahi lebih barhasil daripada anak-anak dari keluarga yang kemampuan ekonominya jauh lebih baik daripada opung ini. Opung ini punya 5 orang anak: satu polisi, dua guru (pegawai negeri), satu pendeta, dan yang paling bungsu, setahuku tamat sarjana juga dan pada saat aku menulis ini, aku belum tahu apa pekerjaannya. Aku terutama kenal dengan ke-4 kakak & abangnya, kurang kenal dengan si bungsu dari Opung Boru Tarigan. 

Dalam pengamatanku, justru anak-anak Opung ini jauh lebih berhasil dari anak-anak di kampungku yang orang tua mereka lengkap, keadaan ekonomi mereka jauh lebih bagus. Kenapa bisa begitu, iya kan? Aku jadi berpikir: apakah tantangan hidup yang harus mereka lalui telah menjadi latihan tersendiri bagi mereka untuk menjadi lebih baik dan lebih berhasil daripada sebaya mereka yang tantangan hidupnya tidak seberat yang mereka harus hadapi dan lalui? 

Kalau benar sekolah itu memang menjadikan kita berhasil dalam hidup, mayoritas anak-anak kampung kami di Urung Panei juga masuk sekolah sama seperti anak-anak Opung Silalahi ini. Kenapa kok anak-anak opung ini, dari segi persentase keberhasilan dalam keluarga, ditinjau dari jenis pekerjaan, lebih berhasil daripada yang lain di kampung itu? 

Nampaknya ya, sekolah yang paling utama itu adalah HIDUP itu sendiri. Anak-anak yang harus menghadapi berbagai macam tantangan bisa jadi tidak sadar bahwa mereka sedang berlatih bagaimana menavigasi kehidupan mereka sejak saat itu sampai mereka dewasa. Bisa jadi itu tak selalu mudah, kadang mungkin bisa mendera orang, memaksa orang harus memasuki pandemi putus asa, berjuang untuk selamat dari pandemi itu dan berbagai macam pandemi mental lainnya. 

Sampai sekarang, aku memperhatikan pola-pola didik yang ada di sekitarku, termasuk di kalangan keluarga, dekat atau jauh. Aku kira-kira bisalah memprediksi apa yang akan terjadi pada anak-anak dari si A, si B, si C dengan memperhatikan pola didik dan pola asuh dari orang tua - orang tua mereka. Kan aku sudah memperhatikan apa yang terjadi di masa lalu dan juga di masa sekarang. Contoh-contohnya sudah ada. 

Manusia itu perlu tantangan, anak-anak juga perlu tantangan hidup sebab tantangan itu latihan mental, spiritual dan juga latihan fisik, kalau tidak, sudahlah, mereka bisa jadi cenderung bermental memble, tak piawai menjalani hidup, rentan dan mudah rontok diterpa badai kehidupan.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun