Mohon tunggu...
Limantina Sihaloho
Limantina Sihaloho Mohon Tunggu... Petani - Pecinta Kehidupan

Di samping senang menulis, saya senang berkebun, memasak (menu vegetarian), keluar masuk kampung atau hutan, dan bersepeda ontels.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

(3) Jalan Kaki ke Sekolah

15 Januari 2023   12:08 Diperbarui: 15 Januari 2023   12:24 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelajar di Samosir pulang sekolah - (antara news)

(Ini lanjutan cerita 1 dan 2 sebelumnya).

Jalan Kaki ke Sekolah

Rumah opungku, dari pihak bapak berada di Sosor Ganda, sebuah huta di wilayah Parbaba, Pulau Samosir. Sosor Ganda ini terletak di titik yang relatif tinggi sehingga saat aku buka jendela dapur, aku langsung bisa lihat Danau Toba jauh di bawah sana di sebelah barat. Pintu utama rumah kami menghadap matahari terbit, jendela dapur di bagian ujung, sebelah barat menghadap ke jejeran Bukit Barisan di sepanjang sisi barat danau itu. 

Sekolahku di tepi danau. Aku dan anak-anak kampungku dan kampung-kampung yang lain jalan kaki ke sekolah. Ada banyak kampung di Pulau Samosir. Pada masa itu, nggak masuk akal kalau ada anak yang naik kendaraan umum sekalipun ke sekolah sekalipun rumah mereka terletak di sisi kiri atau kanan jalan raya. Bagi para murid yang rumahnya berada jauh dari jalan raya, sudahlah, dalam mimpi pun mereka tak akan merindukan naik kendaraan ke sekolah, pada zaman itu ya! Sekarang sudah beda sebab jalan-jalan sudah mulai dibangun, paling tidak mobil sudah bisa masuk dari jalan raya utama ke Sosor Ganda. 

Kuperkirakan, perlu waktu sekitar 20 sampai 30 menit berjalan kaki dari Sosor Ganda ke SD Impres Parbaba yang terletak di tepi danau itu. Masa yang aneh kalau dilihat dari masa sekarang sebab pada waktu aku kelas I SD itu, di rumah opungku tidak ada jam dinding yang menunjukkan tanda-tanda waktu. Seingatku, rumah-rumah penduduk yang lain di kampungku dan kampung tetangga juga jarang mempunyai jam dinding sebagai penunjuk waktu.

Aneh. Setiap pagi, seolah para murid sekolah itu sudah punya jam penanda waktu dalam diri mereka. Mungkin itulah kebiasaan pada saat itu. Tak perlu jam dinding, jam tangan, apalagi hand phone. Kata itu saja belum ada pada waktu aku SD, perbendaharaan kata "hand phone" belum ada. Kalau mau melakukan telepon, orang harus pergi ke ibukota kecamatan di Pangururan. 

Dari sana bisa melakukan percakapan dengan saudara yang ada, misalnya, di Jakarta. Ini pun dilakukan orang untuk hal-hal yang sangat penting saja. Telegram sudah ada. Berita telegram adalah berita-berita penting yang hanya terdiri dari beberapa baris kalimat pendek saja. 

Seperti apa pun cuaca, lalui. Begitu. Tidak ada alasan tidak pergi sekolah karena hujan. Seingatku begitu. Repot kalau hujan. Jalanan menjadi licin karena tekstur tanah di Parbaba itu di bagian jalan liat. Gampang menjadi licin kalau sudah kena hujan. Di musim kemarau mudah menjadi keras dan berdebu.

Biasanya, aku serapan dulu di pagi hari sebelum berangkat sekolah. Opung Boru (nenek) menyiapkan serapan pagi. Lalu aku bergabung dengan anak-anak tetangga jalan kaki ke sekolah. Kami akan melewati beberapa kampung sebelum tiba di jalan raya. Setelah Sosor Ganda, kami akan melewati sebuah rumah dekat kolam, itulah kolam Opung Samsir, dekat pohon mangga milik opungku. Di bawah pohon mangga ada rerumpunan tumbuhan pandan berduri yang biasa dipakai opungku untuk membuat tikar dan bakul.

Tak jauh dari kolam Opung Samsir, kami melewati sebuah kampung yang jumlah rumah di dalamnya jauh lebih banyak dibanding dengan Sosor Ganda. Sait ni Huta, itulah nama kampung itu. Sait ni Huta ini dikelilingi tembok tanah dan berbagai macam pohon seperti bambu, beringin dan jior serta sena. Aga pintu utama untuk masuk ke dalam kampung, di sisi sebelah kanan kalau kita datang dari arah timur ke barat, ke arah danau. 

Lanjutkan jalan ke arah danau, jalanan yang agak aneh karena setelah Sait ni Huta sampai kampung Sinaborno, kedua sisi jalan lebih banyak berdinding tanah seolah dulu jalan itu dikorek karena sisi kiri kananya tinggi. Hanya pada bagian tertentu ada areal yang tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan jalan yang pada saat itu belum beraspal, masih tanah saja.

Malam hari menjadi seram sebab di sisi kiri kanan jalan terdapat kuburan-kuburan di perladangan penduduk. 

Kampung setelah Sait ni Huta adalah Sinaborno; kampung ini sudah tak jauh dari jalan raya utama. Di seberang Sinaborno ada juga sebuah kampung dengan jumlah rumah yang tidak terlalu ramai, berada di ketinggian, sementara Sinabarno berada jauh di bawah kampung seberangnya. Kampung yang aneh karena aku ternyata tidak tahu apa namanya sekarang. Aku jarang masuk ke kampung yang agak terletak di ketinggian itu. 

Kami akan tiba di jalan raya beraspal. Ada rasa lega. Tak lama lagi akan sampai di sekolah. Berjalan ke arah utara sekitar 100 meter melewati sungai, biasa kami sebut binanga, yang ada jembatan di atasnya, menghubungkan jalan raya dari satu sisi ke sisi yang lain. Tak jauh dari jembatan itu kami melewati kedai si Parlin Simarmata, teman kelasku. Biasanya di kedai si Parlin-lah aku beli pensil dan buku tulis.

Nanti akan ada belokan ke arah barat tak dari samping rumah si Parlin, jalan terus dari situ, melewati beberapa rumah yang tidak berada di dalam kampung sebagaimana lazimnya, lalu sekolah akan nampak begitu aku sudah keluar dari jalan di mana ada dua kampung berhadap-hadapan gerbangnya tak jauh dari danau. Sekolah sudah nampak dan aku akan tiba di sana dalam dua menit, terus aku berjalan ke arah utara.***

...bersambung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun