Mohon tunggu...
Limantina Sihaloho
Limantina Sihaloho Mohon Tunggu... Petani - Pecinta Kehidupan

Di samping senang menulis, saya senang berkebun, memasak (menu vegetarian), keluar masuk kampung atau hutan, dan bersepeda ontels.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Andai Saja Dia Bisa Jadi Anak Finlandia...

14 Januari 2023   10:07 Diperbarui: 14 Januari 2023   10:35 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Ini sebuah respon yang barusan kutulis setelah membaca karya Mas Pung di Kompasiana ini: 

 https://www.kompasiana.com/komentar/bimabela.com/63c162d008a8b567fc5c2a02/pembelajaran-reflektif-menyeimbangkan-pengetahuan-dengan-karakter). Ternyata, respon kok sudah segitu panjang, sudah bisa jadi satu tulisan...)

Wah, terima kasih banyak Mas Pung! Kepala sekolah nih yang nulis, jadi, perlu kita baca dengan teliti karena yang nulis adalah pelaku penting dalam dunia pendidikan kita.

 Satu ponakanku tinggal bersamaku, yang juga sudah menjadi Kompasianer pemula di sini, Paulina Sihaloho, pelajar kelas I SMA di Bintang Timur, sebuah sekolah Katolik di Pematang Siantar.

 Tadi pagi aku tanya, "Kalian berdoa setiap hari, termasuk berdoa di pagi hari agar kalian bisa mengikuti mata pelajaran dengan baik?"

 Paulina bilang, iya, setiap pagi mereka berdoa, satu sekolah, guru dengan murid yang jumlahnya sekitar seribu orang itu. Tengah hari mereka berdoa juga.

 Aspek spiritual tentu sangat penting kita rawat dalam dunia pendidikan kita sehingga manusia Indonesia itu menjadi manusia yang juga cerdas secara spiritual.

 Itu mungkin salah satu kelebihan sekolah-sekolah Katolik, khususnya di Indonesia ini. Secara umum, kita bisa perhatikan, pembawaan murid-murid di sekolah-sekolah Katolik itu, kenapa agak beda? Iya kan? Aku mungkin subjektif tetapi aku bisa merasakan ada perbedaan.

 Kurasa itu macam inilah: aku bisa merasakan perbedaan berinteraksi dengan orang yang rajin shalat dan yang kurang atau tidak rajin shalat. Itu beda, energi yang mereka pancarkan, yang tidak pala kasat mata, beda.

 Nah, ada banyak cara untuk mengintegrasikan teori dan praktek dalam kurikulum kita sebenarnya kan.

 Misal, kalau aku kepala sekolah: Setiap murid melaksanakan proyek per tiga bulan sebagai sarana bagi si murid untuk mengekspressikan diri dari apa saja yang dia pelajari di sekolah. Proyek ini bisa kita desain bersama: murid, guru, dan orang tua. Ini tentu menjadi sangat menarik apalagi bagi murid itu sendiri.

 Bisa per tiga bulan, bisa per enam bulan (satu semester). Nah, proyek ini menggantikan PR yang berjubel dan bikin murid cenderung depressi dan bosan.

 Bisa kita bikin pilot project-nya kan, aku yakin murid antusias.

 Proyek masing-masing murid ini didampingi oleh guru dan orang tua/wali. Pun, bisa saja proyek-proyek ini membutuhkan dana kan, ini juga bisa kita bicarakan.

 Bayangkan Mas Pung, bagaimana kita bisa melahirkan generasi-generasi kreatif di negeri ini kalau kita bisa mengadopsi pola belajar ini. Kita hapus ajalah PR itu dan pembelajaran yang terlalu banyak teori dan terkungkung di dalam kelas.

 Kita bisa belajar dari Finlandia kan. Aku tanya sama Paulina, dia malah rindu andai saja dia bisa jadi anak Finlandia, bukan anak Indonesia...

Catatan tambahan:

Itu yang ada dalam foto adalah dokumen milik Sam Northern yang menuliskan pengalamannya melakukan kunjungan ke Finlandia di sini: http://journey2finland.blogspot.com/2018/04/in-and-out-of-finnish-schools.html. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun