Kisah Bersambung...
Saya perhatikan di Kompasiana ini ada banyak pendidik, ada banyak tulisan tentang pendidikan. Saya jadi terinspirasi untuk menuliskan pengalaman saya menjadi bagian dari dunia pendidikan yang ada di negeri ini, sejak saya masuk sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
SD sampai perguruan tinggi, ini waktu yang cukup lama kan, mestinya ada banyak kisah, semoga para-kisah ini bersedia muncul kembali ke permukaan dan menjadi runtutan cerita.
SD Impress Parbaba di Pulau Samosir
Aku anak kampung, anak desa. Kalau di Sumatra Utara, istilah yang kami pakai adalah parhuta-huta, wong ndeso kalau di Jawa. Istilah ini tentu memberi kesan yang kurang menyenangkan, baik di Sumatra maupun di Jawa.Â
Orangtuaku, pada waktu aku berusia lima tahun, sudah menetap di Urung Panei, Kabupaten Simalungun. Bapak berasal dari Parbaba, Pulau Samosir, ibu dari Urung Panei, Simalungun. Mereka pindah dari Parbaba ke Urung Panei sebelum aku lahir.
Lucu, sebab dalam dokumen-dokumen resmi seperti ijazah sekolahku sejak SD, aku dinyatakan lahir di Sosorganda, sebuah hutan atau kampung di Pulau Samosir. Faktanya tidak begitu, aku lahir di Simalungun.Â
Kemungkinan besar waktu bapak mengantarkan aku ke rumah opung di Pulau Samosir, surat baptisku tidak nampak.
Kalau surat itu ada, tentu saja tidak mereka kacaukan tempat di mana aku lahir berikut tanggal lahirku. Tidak hanya tempat lahirku yang salah, tanggal lahirku juga salah. Usiaku belum mencukupi untuk masuk sekolah dasar saat itu, mereka ubah tanggal lahirku sehingga aku bisa masuk sekolah.
Aku terpisah dari kedua orangtuaku dan kakak, abang, dan adikku. Aku tinggal bersama opung di Pulau Samosir. Bapak yang mengantarku ke rumah opung segera pulang ke Urung Panei di seberang pulau setelah mendaftarkan aku ke SD Impress Parbaba bersama opung, bapaknya bapakku.Â
Hari-hari pertama menjadi murid di SD Impress Parbaba itu adalah hari-hari yang asing bagiku. Setiap pagi seluruh murid berbaris di halaman sekolah menghadap kantor guru sekaligus kantor kepala sekolah.
Kami berbaris menghadap matahari terbit tetapi tidak akan kesilauan di pagi hari karena masih terhalang oleh gedung kelas dan kantor kepala sekolah.
Sepanjang sisi timur bagian belakang gedung sekolah dan kantor ini ditanami pepohonan yang menjadi rindang.
Jadi, sekalipun sinar matahari terik di pagi hari khususnya pada musim kemarau di pulau itu, udara masih tetap terasa nyaman sebab sekililing sekolah itu tumbuh pepohonan.Â
Halaman sekolah di sebelah barat adalah pantai, Danau Toba. Terlihat sebagian melalui celah-celah batang pepohonan yang rindang. Jarak dari sekolah ke dalam air di danau bervariasi tergantung musim.
Pada musim penghujan, jarak menjadi lebih dekat karena volume air bertambah, dan sebaliknya, pada musim kemarau, jarak menjadi lebih jauh karena air danau surut.
Sedangkan pada musim kemarau, sebagian penduduk sekitar malah menanami padi darat di daerah pantai yang airnya surut itu, biasanya hanya sekali saja dalam setahun.Â
Aku kelas I, berbaris di barisan murid-murid kelas I. Barisan berjejer sampai kelas VI. Aku merasa badanku kecil dibanding dengan murid-murid kelas VI.
Mereka nampak seperti raksasa bagiku, badan mereka besar dan tinggi. Kami memakai 4 jenis seragam sekolah: Putih-biru, putih-putih, putih-merah, dan pramuka. Anak SD di zamanku sudah harus berurusan dengan empat jenis seragam sekolah!
Mengingat kenangan itu, kadang aku heran kalau lihat sebagian anak-anak SD belakangan ini yang tinggi badannya tak beda jauh dengan anak-anak SD kelas I pada zamanku masih SD. Kerdil. Kenapa bisa begitu?
Entahlah!
Kenapa zaman lalu, dekade-dekade lalu, murid-murid sekolah lebih tinggi badannya dibandingkan dengan belakangan ini? Ada apa?
bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H