Mohon tunggu...
Limantina Sihaloho
Limantina Sihaloho Mohon Tunggu... Petani - Pecinta Kehidupan

Di samping senang menulis, saya senang berkebun, memasak (menu vegetarian), keluar masuk kampung atau hutan, dan bersepeda ontels.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Martin Luther, Tokoh Reformasi Gereja Abad 16

28 September 2010   22:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:53 10360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_272647" align="alignleft" width="300" caption="Luther, 2003, dibintangi oleh Joseph Fiennes"][/caption] Kemarin saya berada di dalam sebuah kelas. Sang professor yang mengajar di kelas itu, seorang sosiolog memberitahukan penemuannya bersama dengan timnya. Yang paling menarik dari penemuan itu: yang paling tahu hal-hal mengenai agama justru adalah kaum ateis. Misalnya, yang ateis mempunyai pengetahuan yang lebih bagus tentang siapa itu Martin Luther tinimbang orang-orang yang biasa pergi ke gereja berdenominasi Lutheran. Itu dalam konteks Amerika. Saya perkirakan, situasinya bisa saja mirip dengan di Indonesia. Di kampung saya ada Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), secara umum, setidaknya di kancah internasional, ini termasuk gereja beraliran Lutheran walau sebagian yang mengerti tentang teologia secara memadai masih memperbincangkan se-Lutheran-apakah sebuah gereja seperti GKPS. Ada beberapa perbedaan mencolok antara gereja-gereja Lutheran di Indonesia dengan di Amerika. Di Indonesia, lebih dekat kepada Presbiterianisme (Calvinisme) sedangkan di Amerika, lebih dekat kepada Katolisisme. Cara paling mudah membedakannya adalah: kalau saya pergi ke sebuah gereja Lutheran di Amerika, maka saya akan menyaksikan umatnya yang melakukan hal yang sama dengan umat Katolik: "Dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus" sambil meletakkan ujung-ujung jari tangan kanan di kening, atas dada, bahu kiri dan kanan. Orang-orang Lutheran di Indonesia tidak melakukan hal ini sama sekali; mereka kira ini hanya dipraktekkan oleh umat Gereja Katolik Roma. Siapa Martin Luther? Luther lahir pada tanggal 10 November 1483 di Eisleben, Jerman; meninggal pada 18 Februari 1546. Ia biarawan Agustinian.  St. Augustine (Agustinus) lahir di Hippo (sekarang Algeria) 13 November 354. Ia menjadi bishop pada tahun 396-430; seorang tokoh yang paling berpengaruh dalam gereja bahkan di kalangan Protestan setelah era Reformasi di mana Luther merupakan salah satu tokoh utamanya. Luther, terbit pada tahun 2003 atas kerjasama dengan gereja Katolik dan Protestan di Jerman. Sebuah film yang menceritakan tentang kehidupan Luther khususnya pada masa-masa kritis ketika dia harus berhadapan dengan Roma yang memaksanya harus menarik semua publikasinya dan harus mengaku bersalah dan menyesal. Luther dengan tegas menolak permintaan (pemaksaan) dari Roma ini karena baginya hal itu sama sekali tidak masuk akal. Luther adalah seorang yang brillian, berani dan berpendirian kokoh. Dia tidak mau berkompromi dengan Roma menyangkut hal-hal yang sangat prinsip baginya. Paus Leo pada waktu itu mempunyai ambisi untuk mendirikan Catedral of St. Peter Basilica yang memerlukan biaya sangat besar. Paus menugaskan Johann Tetzel untuk mengumpulkan uang dengan cara menjual indulgences. Dalam pengertian sederhana sebagaimana kita bisa saksikan di dalam Luther, seseorang bisa membeli keselamatan agar bisa bebas dari purgatory (api penyucian bagi jiwa-jiwa yang belum layak masuk surga). Luther kemudian mempunyai pendirian yang tegas bahwa manusia tidak bisa membeli keselamatannya; hanya karena kasih Tuhanlah maka manusia bisa selamat. Sola Fide, Sola Gratia dan Sola Scriptura menjadi salah satu ciri khas teologi Lutheran. Sola Fide (Iman), Sola Gratia (Kasih) dan Sola Scriptura (Injil atau Alkitab). Luther membawa pembaharuan besar di Jerman pada masa itu. Dalam persembunyian dia menerjemahkan Kitab Suci Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman. Ini sangat penting sebagai sebuah pintu bagi perubahan dan kemerdekaan berpikir. Selama 1500-an tahun, yang berhak membaca Kitab Suci hanya segelintir orang dan yang berhak menafsirkannya hanya para petinggi gereja seperti Paus di Roma. Penerjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa Jerman juga membawa pembaharuan tidak hanya dalam kehidupan beragama tetapi juga dalam bidang non-agamis seperti seni dan budaya. Luther beruntung berada di bawah lindungan Frederick III yang menculik dan menyembunyikannya di sebuah kastel di Wartburg dari rencana pembunuhan sekembali dari Worm pada tahun 1521 di mana Luther dengan tegas menolak pemaksaan dari Roma untuk mencabut seluruh buku-buku yang telah dia tulis dan mengaku bersalah. Pendirian yang kuat ini menimbulkan kegemparan bagi gereja saat itu tetapi tidak bagi Jerman dan penduduknya yang membela dan mengelu-elukan Luther sebagai pahlawan. Di Kastel Wartburg, Luther menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman yang dia dedikasikan kepada Frederick III. Luther menikah dengan Katharina von Bora, seorang mantan biarawati. Paus Leo meninggal pada saat Luther masih hidup. Di gereja-gereja Lutheran dan Protestan pada umumnya, pendeta pada umumnya menikah; tradisi ini berasal dari era reformasi sejak Luther. Dalam perjalanan selanjutnya, sayang nian, para pendeta di gereja-gereja Protestan hampir-hampir tak ada yang sebrillian Luther dalam hal pengetahuan dan rasa humor. Latar belakang pendidikan Luther sebelum masuk biasa Agustinian adalah hukum. Ia menulis dan menerbitkan banyak buku. Orang-orang Protestan, para teolognya juga lemah dalam filsafat, berbeda dengan teolog-teolog Katolik yang mengharuskan pada pastor belajar filsafat dalam bahasa Latin sebelum belajar teologia. Orang-orang Protestan langsung belajar teologia dan sedikit belajar filsafat, sebagian besar hanya belajar filsafat a ala kadarnya. Maka tak heran, di kalangan Protestan ada banyak aliran, selalu bertambah. Kalau tidak suka bergabung dengan satu aliran tertentu, bisa bikin aliran baru. Kecenderungan ini yang masih terus berlangsung sampai sekarang potensial menimbulkan persoalan termasuk di Indonesia. Pada pendeta dan pemimpin gereja sekarang ini pada umumnya bisa bersikap seperti para Saduki dan Farisi di zaman Yesus. Yesus menyebut mereka ini, Farisi dan Saduki sebagai kumpulan keturunan para ular-beludak, artinya orang-orang munafik yang haus kekuasaan dan harga diri. Mereka ini juga yang ngotot memaksa Pontius Pilatus agar menyalibkan Yesus sebab menurut para keturunan ular beludak itu, Yesus telah menghina Allah. "Bless me Father!" mohon seorang biawaran berlutut kepada Luther ketika dia hendak menaiki tangga ke pengadilan di Worm pada tahun 1521. "I am not a saint!" sergah Luther sambil menarik orang itu berdiri. Dalam sejarahnya, gereja-gereja Protestan termasuk Lutheran justru kehilangan semangat Luther yang egaliter dan demokratis. Para pemimpin gereja mencari kenyamanan dan popularitas dalam kedudukan mereka yang fana itu. Kalau Luther masih hidup, saya kira dia akan marah terhadap para pencari kekuasaan dan kenyamanan itu. Para pendeta merasa diri mereka berbeda dan lebih suci walau dalam prakteknya, who knows really? Mereka tidak jauh berbeda dengan kaum Saduki dan Farisi di zaman Yesus.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun