Mohon tunggu...
Limantina Sihaloho
Limantina Sihaloho Mohon Tunggu... Petani - Pecinta Kehidupan

Di samping senang menulis, saya senang berkebun, memasak (menu vegetarian), keluar masuk kampung atau hutan, dan bersepeda ontels.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Takut dan Gentar; Søren A. Kierkegaard

27 November 2009   18:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:10 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_30657" align="alignleft" width="300" caption="(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Binding_of_Isaac)"][/caption] Abraham dalam Pandangan Kierkegaard Idul Adha hari ini mengingatkan saya pada seorang teman kelas saya lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu kami sedang kuliah; mata kuliahnya filsafat. Topik hari itu adalah tentang Søren Aabye Kierkegaard, lahir di Kopenhagen pada 5 Mei 1813. Pada zamannya Kierkegaard tidak terkenal di negerinya. Belakangan, hampir dua abad kemudian, para filsuf dan penulis seperti  Martin Heidegger, Karl Jaspers, dan Jean Paul Sartre berutang budi padanya atas perannya meneriakkan terhadap eksistensialisme subjek. [caption id="" align="alignright" width="186" caption="Sketch of Søren Kierkegaard by Niels Christian Kierkegaard, c. 1840 - Wikipedia."][/caption] Kami masih tingkat dua waktu itu jadi bagi saya yang memang masih polos kali kala itu, nggak begitu bunyi ketika salah seorang teman kelas saya mengungkapkan pendapat dan responnya tentang buku Kierkegaard berjudul: Takut dan Gentar (Fear and Trembling).  Buku ini secara khusus membahas  tentang Abraham yang diperintahkan oleh Allah membawa anaknya bernama Ishak ke Gunung Moria sebagai persembahan bagiNya. Kierkegaard antara lain membahas konflik batin dalam diri seorang ayah yang harus mempersembahkan anak kandungnya. Bagaimana mungkin harus menyembelih anak sendiri untuk Tuhan? Ishak lahir ketika Sarah, istri Abraham berusia 90 tahun. Itu sebab, ketika Sarah mendengarkan perbincangan antara Abraham dengan ketiga orang tamu di tenda mereka bahwa Sarah akan melahirkan seorang anak, Sarah tertawa. Teman kelas saya itu begitu bersemangat berbicara seolah-olah dia sendiri adalah seorang Kierkegaard yang bisa merasakan bagaimana kira-kira perasaan dan konflik batin seorang ayah yang sudah tua yang harus mempersembahkan (menyembelih) anaknya sendiri bagiNya. Teman kelas saya itu, saya masih ingat ekspressi dan getar suaranya yang menantang seluruh penghuni kelas untuk memikirkan apa yang terjadi pada Abraham yang tidak secara detil dan eksplisit tertulis dalam Kitab Kejadian 22. Kejadian 22:1-3 berbunyi: Setelah semuanya itu Allah mencobai Abraham. Ia berfirman kepadanya: "Abraham," lalu sahutnya: "Ya Tuhan." Firman-Nya: "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah ia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan  kepadamu. Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang bujangnya berserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya. Setelah tiga hari dalam perjalanan, mereka sudah dekat ke tempat yang telah diperintahkan oleh Allah. Abraham meminta kedua bujangnya menunggu sementara dia dan Ishak meneruskan perjalanan. Kejadian 22:7-8: Lalu berkatalah Ishak kepada Abraham, "Bapa", sahut Abraham: "Ya, anakku." Bertanyalah ia: "Di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba untuk korban bakaran itu?" Sahut Abraham: "Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya anakku." Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama. Dalam ayat selanjutnya: Sampailah mereka ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya. Lalu Abraham mendirikan mezbah di situ, disusunnyalah kayu, diikatnya Ishak, anaknya itu, lalu diletakkannya di mezbah itu, di atas kayu api. Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya. Mengharukan betul. Mengapa Abraham dalam kisah ini tidak berterus terang kepada Ishak bahwa Ishak sendirilah yang akan menjadi kurban-bakaran? Kitab Kejadian dalam Alkitab tidak menjelaskan ini. Dari awal sampai akhir dalam Kejadian 22:1-19, Abraham adalah seorang yang taat pada Allah. Kierkegaard dan teman kelas saya itu yang suka kepada filsuf asal Denmark ini begitu penasaran apa yang bisa terjadi dalam diri seorang ayah ketika harus menyembelih anaknya atas perintah Allah? Bagaimana musti mengerti Allah yang memberikan perintah sedemikian tidak masuk akal? Dari Toleransi ke Apresiasi Judul di atas saya pinjam dari Karen Armstrong yang tadi malam saya dengar lewat (Karen Armstrong): seorang teman merekemondasikan agar saya mendengarkan kuliah Armstrong awal tahun lalu itu. Buku-buku karya Armstrong yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit Mizan cukup laris di kalangan pembaca Indonesia khususnya mereka yang berkecimpung dalam studi agama-agama dan dialog antar agama. Ada perbedaan antara Kristen dan Islam berkaitan dengan kisah Abraham (Ibrahim). Abraham mempersembahkan siapa, Ishak atau Ismail? Bagi Yahudi dan Kristen, Ishak; bagi Muslim, Ismail. Mengapa sampai ada perbedaan? Uh, ini topik yang bagi saya tidak menarik. Yang paling menarik dan paling penting bagi saya adalah perjuangan dan ketaatan Abraham terhadap Allah; apa pesan kisah yang sudah berumur ribuan tahun ini bagi kita sekarang yang baik bagi penganut Yahudi, Kristen dan Islam terus diulang-ulang? Selama ini kita paling banter bertoleransi pada perbedaan dan sedapat mungkin menghindari topik-topik yang sensitif untuk dibicarakan bersama. Saya menemukan apresiasi untuk menampung apa yang selama ini saya pikirkan berkaitan dengan perbedaan tentang siapa yang dikorbankan, Ishak atau Ismail? Perbedaan ini tak masalah bagi saya sebab inti dan pesan utama dari kisah adalah ketaatan kepada Allah; keberanian dan kerelaan yang bulat serta kepercayaan dari Abraham. Adalah wajar kalau Abraham takut dan gentar tetapi tidak membiarkan ketakutan dan kegentaran itu mengambil alih ketaatannya kepada Allah.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun