Mohon tunggu...
Limantina Sihaloho
Limantina Sihaloho Mohon Tunggu... Petani - Pecinta Kehidupan

Di samping senang menulis, saya senang berkebun, memasak (menu vegetarian), keluar masuk kampung atau hutan, dan bersepeda ontels.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aku dan Ponakanku

21 November 2009   14:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:15 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu SD sampai SMP di Samosir, salah satu jenis pekerjaan saya pulang sekolah adalah menggembalakan kerbau. Saya dulu tinggal di rumah Ompung (orang tua bapak saya). Di pagi hari, kerbau-kerbau kami dipakaikan tali sekitar 10-15 meter sehingga mereka bisa merumput di radius itu. Pulang sekolah, saya juga teman-teman saya melepaskan dan menggulung tali-tali kerbau itu dan menggiring mereka ke padang penggembalaan menjauh dari wilayah perkampungan. Tentunya kami sambil naik kerbau jugalah; bersenang-senang. Di kampung kami di Samosir, Sosorganda namanya, setiap rumah tangga punya kerbau. [caption id="attachment_28058" align="alignleft" width="300" caption="Kerbaunya Paulina. (Foto oleh HS) "][/caption] Hari ini adek saya baru pulang dari kampung kami di Urung Panei (ini di Simalungun loh, bukan di Samosir). Adek saya bawa kamera soalnya dia mau memoto Paulina Sihaloho, ponakan kami. Ponakan kami baru satu orang ini, jadi ya begitulah, apa saja tentang Paulina bagi kami menarik. Begitu lihat ada foto kerbau seperti dalam foto di atas, saya juga langsung kontak-batin. Maklumlah, mantan gembala kerbau. Wajahnya itu lo! Imut nian! "Kenapa nggak kau foto dari jarak dekat?" saya bilang sama adek saya soalnya kerbaunya jauh kali dipotretnya. Ternyata, "Kerbaunya lari," kata adek saya. Kerbau yang baru berumur sebulan ini mungkin takuts lihat kamera. Itu anak kerbau Paulina. Kerbau beda dengan manusia; kerbau bisa berdiri dan berjalan pada hari dia lahir; manusia kan harus tunggu sampai berbulan-bulan. Mungkin karena kerbau kakinya empat, sedangkan manusia cuma dua. Di samping kerbau, Paulina juga punya seekor anjing kesayangan bernama Giting. Warna bulu anjingnya kami sebut berwarna ranggiting dalam bahasa lokal kami. Jadilah dia bernama Giting saja. Ponakan kami ini lahir 10 April 2006 lalu. Baru-baru, adek saya menelpon Paulina; dia sedang berada di ladang; bapak-mamaknya bertani. Tanya macam-macamlah termasuk soal anjingnya si Giting yang pernah tinggal seminggu dengan kami di Siantar dua bulan lalu. Waktu itu si Giting masih kecil. Tidurnya di kamar bersama kami, nggak mau di luar. Wah, pokoknya repotlah, soalnya paling tidak dua kali dalam semalam saya atau adek saya harus bangun karena dia minta keluar untuk pipis. Kadang dia bangun jam 4:00 pagi dan teriak-teriak. [caption id="attachment_28059" align="alignright" width="244" caption="Giting, anjing kesayangan Paulina. (FotoHS)"][/caption] Anak kecil banyak menghibur; segala gerik-gerik dan perkataan mereka bisa menyenangkan. "Si Giting mana?" tanya adek saya sama Paulina. "Ada di sana", balasnya. Lalu, "Giting...! Sini! Dicari Bou kau!" Adek saya bilang, "Nggak usah, aku kan nggak bisa lihat dia." Saya mengikuti alur pembicaraan adek saya dengan ponakan kami. Jadi saya timpali, "Ah, kau kan juga nggak bisa lihat Paulina." Maksud Paulina itu nampaknya, dia mau memberikan telepon genggam kepada anjingnya si Giting sehingga si Giting bisa ngobrol dengan Bou-nya (panggilan untuk saudara perempuan bapak). Tinggal di desa itu menyenangkan. Kalau saya harus memilih menjadi anak kota atau anak desa, saya akan pilih yang terakhir. Waktu kuliah, ada teman saya yang bilang dia tidak kenal seperti apa bentuknya pohon pisang. Dalam hati saya, "Maaak! Nggak kenal bagaimana bentuknya pohon pisang?" [caption id="attachment_28066" align="alignleft" width="174" caption="Giting (di depan) dan Paulina dalam perjalanan ke ladang. (Foto oleh HS)"][/caption] Ya bisa jadi kalau seorang anak lahir dan besar di kota apalagi kota metropolitan. Belum tentu semua jenis tumbuhan masuk televisi. Walaupun masuk televisi, belum tentu si anak kebetulan lihat dan tahu apa itu. Di sekolah, kalau di kota, interaksi anak-anak juga terbatas dengan alam sekitar di mana banyak jenis tumbuhan. Beruntung kalau sekolah itu ada taman dan banyak tanaman di sana. Kalau guru peka, bisa dengan cara-cara kreatif memperkenalkan alam kepada anak-anak didik; kalau nggak, ya, hasilnya bisa macam kawan saya itu, tak kenal pohon pisang. Paulina sekarang biasa berjalan kaki setiap hari sekitar 2-3 km. Ladang kami jauh dari rumah. Itu jarak yang dia tempuh untuk pergi ke ladang di pagi hari dan pulang di sore hari. Paulina ponakan saya anak alam; itu bagus untuknya; dia bisa jelajahi  sekitarnya sesuai dengan daya tahannya. Alam terbuka akan memberikan padanya pelajaran-pelajaran penting dan mendasar; memberi rasa (senang dan susah).  Alam menjadi sekolah terbuka baginya. Kalau sudah besar, seorang Paulina saya yakin akan cinta pada tumbuh-tumbuhan, pada alam sebab dia sudah kenal bahkan sejak dia belum bisa merangkak. Bapak ibunya membawanya ke ladang sejak masih dalam gendongan. *** ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun