Haminjon tanah Batak sudah dikenal di dunia internasional selama ribuan tahun. Persoalan haminjon adalah juga persoalan identitas yang mengandung nilai-nilai historis dan kultural yang sangat kaya. Petani haminjon mempunyai kulturnya sendiri. Berangkat ke Tombak Haminjon, mereka harus suci dalam kata dan laku. Mereka (biasanya laki-laki) tinggal selama berhari-hari di Tombak Haminjon, mereka mempunyai gubuk di sana. Berbagai macam lagu tentang haminjon mereka nyanyikan selama berada di tombak. Mereka menyekolahkan anak-anak mereka sampai perguruan tinggi dengan haminjon. Itu sebab para ibu mengatakan kepada jajaran aparat pemerintah saat mereka mendatangi kantor bupati:Â "Asa boi pe hamu singkola timbo-timbo alani haminjon do!";Â "Kalian bisa sekolah tinggi-tinggi adalah karena kemenyan."Hampir semua aparat itu orang Batak. Walau orang tua mereka secara langsung bukan petani haminjon, kalau mereka punya perasaan, tentu mereka bisa menangkap arti dari kalimat itu: tanpa haminjon anak-anak Sipituhuta dan Pandumaan, sekarang dan di mana yang akan datang akan teramcam putus sekolah; warga desa akan terpuruk jatuh miskin.
Pemerintah memperalat negara, menjadikan dirinya identik dengan negara. Pemerintah menyokong dan melindungi pemilik modal melakukan tindakan-tindakan memonopoli perekonomian termasuk dengan cara merampas tanah adat warga mirip VOC di zaman penjajahan yang berakhir dengan kebangkrutan itu. Sistem perekonomian hanya bisa langgeng kalau ada nilai-nilai kultural yang menopangnya, tanpa itu akan ambruk dan berujung menjadi bencana.
Warga Sipituhuta dan Pandumaan tidak ada yang kena asam urat seperti banyak warga kota sebab mereka biasa berjalan kaki menginjak berbagai macam akar pepohonan. Perjalanan berpuluh km ke Tombak Haminjon adalah juga sebuah spiritualitas, latihan mental dan daya tahan. Berada di tengah tombak membuat jiwa mereka dekat dengan alam dan Pencipta; ini nampak antara lain lewat syair-syair yang mereka senandungkan saat bekerja atau berada di tombak. Dari generasi ke generasi mereka memelihara tradisi bahwa setiap orang yang berangkat bekerja ke tombak harus suci dalam kata dan laku; sebuah pendidikan karakter luhur yang bahkan di sekolah-sekolah dan universitas-universitas di negeri kita sudah sulit atau tidak bisa kita jumpai lagi. Kesucian dalam kata dan laku memberi mereka kekuatan bersahabat dengan alam di mana binatang-binatang buas seperti harimau dan beruang juga bertempat tinggal. Cara masyarakat berinteraksi dengan hewan-hewan buas ini juga merupakan kekayaan kultural tersendiri; mereka tidak menjadikan alam dan hewan sebagai objek tapi sebagai subjek.
Ada banyak unsur yang musti kita lindungi berkaitan dengan haminjon di Tanah Batak. Di samping haminjon sebagai mata pencaharian utama warga yang berprofesi sebagai petani haminjon, kita juga perlu mendukung mereka merawat nilai-nilai khas yang ada dalam tradisi bertani haminjon. Nilai-nilai ini sangat berharga, ibarat nafas bagi tubuh manusia. Tanpa nafas, apalah jadinya manusia kecuali sebagai mayat? Itu sebab mengapa paling tidak setiap orang yang punya akal dan hati nurani perlu mendukung perjuangan warga Sipituhuta dan Pandumaan. Kalau mereka kalah berhadapan dengan TPL maka ini akan menjadi tanda buruk bahwa pemerintah bersama jajaran dan aparat keamanannya serta pemilik modal akan terus melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji berikutnya yang mirip di tempat-tempat lain. Sebaliknya, kalau warga menang dalam mempertahankan apa yang menjadi milik mereka, tanah adat Tombak Haminjon mereka, maka ini menjadi tanda positif bahwa pemeritah dan konco-konconya harus menahan dan menghentikan langkah-langkah serupa dalam mempersulit, mengelabui dan menyiksa rakyat.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H