Esok harinya, 15 Juli menjelang siang sekitar 200-an polisi dan brimob naik truk dan mobil polisi memasuki kampung Sipituhuta dan Pandumaan. Aparat negara ini mengobrak-abrik sebagian rumah warga yang mereka anggap pimpinan kelompok dari warga dua desa. Seorang ibu yang baru pulang dari ladang ketakutan melihat anak-anaknya yang dia tinggalkan di rumah sudah berada di halaman dalam keadaan menangis gemetaran sementara polisi beroperasi di dalam rumahnya. Seorang ibu yang sudah tua (95 tahun) yang sedang tidur di tempat tidurnya terinjak oleh polisi yang sedang membongkar-bongkar isi rumah ibu tersebut. Polisi menciduk seorang bapak yang sedang membunyikan lonceng gereja, panggilan agar warga berkumpul. Polisi juga menciduk seorang bapak yang sedang bekerja di ladangnya demikian juga seorang bapak yang masih dalam perjalanan pulang usai menghadiri pesta keluarga. Sampai sekarang, ada empat bapak yang merupakan warga dua desa itu yang menjalani tahanan luar setelah sempat dipenjarakan di LP Siborong-borong. Keempat warga yang menjadi tahanan ini akan menjalani proses pengadilan di penghujung bulan ini.
PEMERINTAH DAN PEMODAL MEMPERALAT NEGARA
Alih-alih melindungi warga pemilik tanah adat Tombak Haminjon, pemerintah malah melindungi PT TPL. TPL berlindung di ketiak pemerintah lewat Kepres No 63 tahun 2004, Permen Perindustrian RI No. 03/M-IND/PER/4/2005 tanggal 19 April 2005 dan Surat Keputusan Kapolri Nopol. Skep/738/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 dan berbagai surat-surat keputusan lainnya yang mengizinkan TPL beroperasi bahkan di atas tanah adat rakyat.
Pemerintah memperalat negara bernama NKRI yang adalah milik semua warga Indonesia; pemerintah mengindentikkan dirinya seolah-olah menjadi pemilik tunggal negara ini. Pemerintah menjadikan dirinya seperti besi bermagnet sedang pemilik modal dan aparat keamanan negara (polisi dan tentara) seperti serbuk-serbuk yang secara otomatis menempel pada besi itu. Mayoritas warga negara, rakyat kebanyakan laksana dedaunan kering yang gugur yang sama sekali tidak akan menempel pada besi bermagnet ini karena ion-ion di antara keduanya tidak saling tari-menarik.
Pemerintah dan seluruh jajarannya termasuk aparat keamanan merasa berhak untuk melakukan apapun atas nama pembangunan-perekonomian yang hanya menguntungkan segelintir orang yang tidak bertanggung jawab pada kelestarian lingkungan dan kepentingan rakyat banyak. Keadaan kini tak jauh beda dengan Orde Baru. Rumah warga boleh sewenang-wenang diobrak-abrik oleh aparat keamanan bahkan tanpa surat tugas/perintah yang justru membuat warga tidak aman dan menjadi trauma. Dalam kasus antara Sipituhuta dan Pandumaan, justru rakyat sebagai pemilik tanah adat Tombak Haminjon yang puluhan generasi telah bertani haminjon di Tombak Haminjon mereka yang ditangkap dan ditahan polisi. TPL yang menebangi pohon haminjon warga dan pepohonan lainnya di tanah adat warga malah dilindungi.
Pemerintah memperalat negara dan menjadikan dirinya berhak untuk memaksa dan mengeksploitasi warga dengan meminta pendataan atas tanah adat, siapa saja yang mempunyai bagian di tanah adat di Tombak Haminjon itu dan berapa luas luas tanah masing-masing warga. Pemerintah pura-pura lupa bahwa dalam tradisi Nusantara tanah adat adalah milik kolektif, bukan milik perseorangan. Menggiring warga untuk melakukan proses tidak terpuji macam itu tentu akan mempermudah pemerintah dan pemilik modal untuk melakukan proses devide et impera di kalangan warga baik itu di Sipituhuta dan Pandumaan maupun di berbagai wilayah lainnya di Indonesia. Beberapa warga di Sipituhuta dan Pandumaan sendiri telah menerima uang dari TPL seolah-olah mereka bisa menjual sebagian dari tanah adat di Tombak Haminjon dua warga desa itu. Untunglah bahwa warga masih menolerir keteledoran beberapa teman mereka atas apa yang mereka lakukan; mereka sadar itu cara-cara yang tidak terpuji untuk memecah belah mereka.
Pemerintah yang memperalat negara justru malah lebih kejam daripada Belanda yang pernah menjajah negeri ini. Belanda sebagai penjajah melakukan pemetaan wilayah Indonesia termasuk Tanah Batak demi kepentingan penjajahan mereka. Pada permulaan abad ke-20, Belanda melakukan pemetaan wilayah di Tanah Batak. Besar kemungkinan warga Sipituhuta dan Pandumaan pada permulaan abad ke-20 tidak mengetahui kalau Belanda dengan seenaknya menjadikan tanah adat mereka sebagai dari milik negara-kolonial.
Presiden, menteri dan kapolres, mungkin karena berada di Jakarta dan jauh dari daerah apalagi Sipituhuta dan Pandumaan dan sibuk dengan urusan-urusan mereka di Jakarta, dengan begitu saja bisa mengeluarkan surat-surat keputusan yang membuat PT TPL yang tadinya PT IIU itu berada di atas angin untuk beroperasi kembali pada tahun 2005 yang telah menimbulkan bencana bagi manusia dan alam.
Pemerintah bersama jajarannya justru tidak peduli pada kepentingan rakyat-banyak seperti penduduk di desa Sipituhuta dan Pandumaan. Jajaran pemerintah di daerah-daerah berlindung di balik berbagai keputusan-keputusan dari pusat (Jakarta) seolah-olah keputusan-keputusan itu adalah Tuhan yang tidak boleh dipertanyakan dan diganggu-gugat. Tiba-tiba warga di berbagai tempat di negeri ini bisa kehilangan rumah atau tanah termasuk tanah adat mereka sebab tak bisa menunjukkan sertifikat kepemilikan ketika aparat pemerintah datang menunjukkan berbagai macam ketentuan atau keputusan yang dikeluarkan atas nama negara; pemerintah dan jajarannya menjadi buta dan pura-pura buta terhadap bukti-bukti kultural dan historis yang dimiliki oleh warga.
MERAWAT NILAI KULTURAL HAMINJON
[caption id="attachment_21805" align="alignleft" width="300" caption="Getah kemenyan yang sangat terkenal dari Tanah Batak di dunia internasional selama berabad-abad. Foto oleh LTS. "][/caption]