Di dalam rumah adat tersebut terdapat sebuah ruangan yang berisikan pusaka dan hanya orang-orang tertentu saja yang dapat memasuki ruangan tersebut. Tapi tenang saja, bagi yang tidak bisa memasuki rumah adat cikondang masyarakat Desa Lamajang membuat Replika Rumah Adat Cikondang. Replika rumah adat ini dinamakan Bale Paseban.
Di sekeliling Rumah Adat Cikondang pun terdapat beberapa tempat yang dapat dikunjungi, di antaranya Hutan Larangan yang berada tidak jauh dari Rumah Adat Cikondang.
Hutan Larangan ini merupakan tempat bersembunyinya para warga dari para penjajah dan dikatakan hutan tersebut menjadi lokasi berkumpulnya para wali. Menurut juri kunci bagi orang yang memiliki karunia lebih dari Sang Pencipta, lokasi tersebut tidak terlihat seperti hutan pada umumnya tetapi merupakan sebuah keraton.
Para warga dan wisatawan menghargai akan adanya kepercayaan tersebut sehingga untuk pengunjung yang akan masuk kedalam Hutan Larangan diharapkan untuk dapat melepas alas kakinya.
Pada saat malam hari, pengunjung dapat melakukan ziarah ke makam adat yang berada tidak jauh dari Rumah Adat Cikondang. Makam ini merupakan makam dari para juru kunci terdahulu dan diyakini terdapat pula makam dari wali yang menyebarkan Agama Islam di wilayah tanah Pasundan.
Makam ini terlihat dari luar hanya seperti rumah tradisional pada umumnya, namun ketika kita memasuki rumah tersebut di sana ada makam dari para juru kunci terdahulu dan wali.
Makam ini dapat pula dikunjungi pada pagi, siang atau sore untuk mendapatkan informasi-informasi lebih lanjut terkait makam tersebut tanpa ada maksud untuk menziarahi makam tersebut.
Masyarakat disekitar Rumah Adat Cikondang masih melestarikan penumbukan padi menggunakan Lisung dan Jubleg. Keunikan yang ada disana adalah upacara penutupan penumbukan padi yang biasa disebut “Gondang”. Pada upacara ini menggunakan 2 buah lisung, dimana lisung yang lebih panjang menggambarkan laki - laki sedangkan lisung yang lebih pendek menggambarkan perempuan.
Posisi peletakan kedua lisung pun tidak dapat diletakan sembarang tempat, lisung yang lebih panjang (yang menggambarkan sebagai laki - laki) diletakan lebih maju daripada lisung yang pendek, hal ini mengibaratkan bahwa seorang laki laki menjadi seorang imam perempuan.
Penumbukan padi ini hanya dapat dilakukan oleh para wanita dengan menggunakan antan sebagai alat penumbuknya. Setelah dilakukan penumbukan padi, para wanita membuat irama dengan memukul-mukulkan antan yang dipegangnya ke lisung yang ada di depannya.
Setiap tanggal 1 Sura selalu diadakan acara wuku tahun yang dimana acaranya disebut “sembah bumi”. Acara ini bukan menyajikan sesajen, tetapi memanen semua hasil alam mulai dari persawahan, perkebunan, dan perkebunan lalu diolah dan disajikan bersama - sama dengan para pengunjung juga.